Sabtu, 06 September 2014

ISBD MANUSIA DAN CINTA KASIH




Ilmu Sosial Budaya Dasar

1.      Manusia dan Cinta Kasih
a.       Tresna itu artinya kehausan untuk melakukan perbuatan tidak baik yang menyebabkan denganki dan takut. Dikuasai oleh rasa kejahatan yang besar, takut jadinya akan akibat jelek yang akan diterima. (Sarasamuccaya, 448, hal.198 : Perihal Tresna).
b.      Karena cinta itu adalah biang keladi kesedihan. Cintalah yang menyebabkan terikat terbelenggu, sehinggan menemui kedukaan jadinya. (Sarasamuccaya, 477, hal.212 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
c.       Demikian melekatnya cinta seseorang terhadap anak, istri dan keluarga, sehingga lambat laun pasti tenggelam sulit ditolong, sama dengan gajah tua yang tenggelam dalam lumpur. (Sarasamuccaya, 478, hal.213 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
d.      Tetapi cinta kasih terhadap anak istri adalah racun yang luar biasa mematikannya di dunia ini. Racun itu sangat mujarab yang mengobati apa yang tidak dapt diobati, sebab semua mereka yang sudah dikenainya kacau pikirannya, sengsara, bingung berputar terus jadinya, tidak putus-putusnya menjelma kembali berada dalam lingkaran kelahiran. (Sarasamuccaya, 479, hal.213 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
e.       Sebagai halnya sepotong batang kayu yang terapung-apung di laut. Suatu saat ia bertemu dengan sesamanya batang kayu, dan setelah itu nyatanya berpisah dan kemudian bertemu lagi. Demikian pulalah pertemuan semua makhluk hidup dengan sesamanya. Tidak langgeng adanya, kenyataanya berakhir dengan berpisah, dan bisa bertemu pula nantinya. (Sarasamuccaya, 484, hal.216 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
f.       Demikian pula halnya anak, cucu, buyut, keluarga kawan dan sesama hidup, bertemu anda dengan semua mereka itu, dalam sesaat pula, bisa berakhirkah dengan perpisahan nantinya. Oleh karena itu janganlah sampai terlalu keras disaputi cinta kasih. (Sarasamuccaya, 485, hal.216 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
g.      Tidak ada yuang namanyapertemuan langgeng. Suatu saat bertemu, suatu saat tidak bertemu. Betapa tidak langgengnya itu. pertemuan anda dengan badan wadag anda inipun tidak langgeng pada hakekatnya. Tak usah pula menyebutkan yang lain-lainnya, anggota badan kita sendiripun pada akhirnya akan berpisah pula. (Sarasamuccaya, 487, hal.217 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
h.      Sesungguhnyalah bahwa berganti-ganti adanya suka dengan duka, ada dengan tidak ada, sikaya dengan si miskin, mati dengan hidup, semua itu berganti-gantian adanya pada setiap makhluk. Orang yang bijaksana sadar akan hal itu, oleh karena tidak bergimbara, tidak bersedih hati hingga tenang dan sucilah hatinya. (Sarasamuccaya, 496, hal.221 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
i.        Pendeknya, rasakanlah datangnya kegembuiraan, dan rasakan pulalah kesedihan yang datang. Lain katanya, hadapilah dengan sabar suka dan duka itu, janganlah ada yang dikerjakan atau dikesampingkan atas kedatangannya masing-masing. Laksanakanlah olehmu tugas dan kewajiban hidup ini. Sebagai halnya petani yang bekerja disawah, dengan sabar dikerjakannya, dengan menahan panas dan dingin sambil menantikan berbuahnya padi yang dikerjakan itu. (Sarasamuccaya, 497, hal.221 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
j.        Adapun orang yang mempertahankan kelekatan hati pada sesuatu yang dikasihi, pipatrikan dalam hatinya, telah menutup-nutupi kesedihan, walau hatinya seolah-olah ditusuk oleh lembing layaknya. (Sarasamuccaya, 476, hal.212 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
k.      Tidak ada benda apapun di dunia ini, yang dapat memuaskan kehausan (trsna) itu, sebab bagi orang yang besar kehausannya, tidak bedanya dengan lautan, betapa mungkin akan dapt terpenuhi. (Sarasamuccaya, 452, hal.200 : Perihal Tresna)
l.        Sebab yang dinamai trsna (kehausan) itu, besarlah ia memangnya, dan bertambah besar pula kewibawaan segala apa yang di tresnai itu, semakin tumbuh jadi besarlah ia. Sebagia halnya tanduk lembu yang semakin panjang jadinya. Makin besar lembu yang sudah bertanduk itu, semakin panjanglah tanduknya. Demikianlah halnya tresna itu, makin besar jadinya sesuai dengan tubuhnya segala kepunyaan yang di tresnai itu (antara lain benda dan hak milik lainnyatermasuk anak istri dan kekasih). (Sarasamuccaya, 453, hal.200 : Perihal Tresna).
m.    Oleh karena tidak ada yang lebih mulia daripada jiwa, hanya jiwalah yang harus dimuliakan di dunia, maka orang hendaknya mengasihi makhluk lain sebagai ia mengasihi dirinya sendiri. Demikianlah hendaknya kasih sayang kita kepada orang lain. (Sarasamuccaya, 146, hal.66 : Perihal Ahimsa).

2.      Manusia dan Kegelisahan
a.       Pendeknya, tresna itu menimbulkan kelobaan, kelobaan itu adalah pengumpulan dari segala kejahatan. Karena orang yang lubdha yaitu orang yang diselimuti oleh kelobaan, pasti ia akan melakukan hal-hal yang jahat walaupun dia itu orang yang pandai sekalipun. (Sarasamuccaya, 459, hal.204 : Perihal Kelobaan).
b.      Kalau kelobaan makin timbul, pasti tidak puaslah hidup orang itu. semakin tidak puas hidupnya, pasti ia akan mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Lagi pula bertambah kuat kekuasaan indria yang disebabkan oleh kelobaan itu, hingga akhirnya sangat berkuasa indria itu, maka hilanglah kepandaian seseorang serta segala ilmu yang diketahui oleh orang itu, sebagai halnya ilmu yang tidak pernah diamalkan. (Sarasamuccaya, 460, hal.204 : Perihal Kelobaan).
c.       Dan lagi tidak ada kecualinya, ketakutan dari orang yang mempunyai harta kekayaan itu namanya. Karena ia takut pada raja (negara), air pada api, pada pencuri pada sanak keluarga. Jufga banyaklah yang ditakuti oleh orang-orang kaya itu, sebagai halnya Dewa maut yang ditakuti selalu oleh semua makhluk hidup. (Sarasamuccaya, 463, hal.206 : Perihal Kelobaan).
d.      Disamping itu ia juga menimbulkan kemabukan, sebab ada tiga hal yang bisa menimbulkan kemabukan itu yang menyebabkan kagumnyua orang-orang yang dungu. Masing-masingnya ialah wanita, makanan dan minuman dll. dan kekuasaan itulah yang menimbulkan kemabukan. Kalau ada yang suka akan itu, dan itu sebenarnya tidur tidak sadar akan dunia ini sebenarnya. (Sarasamuccaya, 468, hal.209 : Perihal Kelobaan).
e.       Pendeknya, janganlah sampai terpesona, terlalu berkelebihan mengejar kewibawaan, secukup-cukupnya saja. Karena (apalagi ditambah beban dengan kewibawaan) sedangkan badan ini saja bisa menyebabkan kesulitan, tidak bisa dibawa, tidak mungkin dipelihara, atau dibantu kalau sudah Tuhan ( Sang Hyang Widhi Wasa) mentakdirkan. (Sarasamuccaya, 470, hal.209 : Perihal Kelobaan).
f.       Sebab sebanyak-banyaknya tumpukan harta kekayaan, dan setiap orang yang mencari kepuasan hidup, tidak ada diantara mereka yang luput dari bencana. Demikianlah keadaannya. Oleh kerena itu bagi mereka yang sadar ditinggalkannyalah kegilaan-kegilaan terhadap harta kekayaan itu, dijauhkanlah dirinya dari sumber kesengsaraan itu. (Sarasamuccaya, 472, hal.210 : Perihal Kelobaan).
g.      Adapun orang yang bersifat tenang itu tidaklah dibedakannya antara dirinya dengan segala makhluk lainnya katanya : “oh kasihan !” sehingga beliau tidak berbuat kejam dan pemarah. Inilah kebahagiaan yang sejati ! kini beliau mendapat kebahagiaan maka di akhiratpun kelak beliau mendapatkan pula kebahagiaan. (Sarasamuccaya, 98, hal.47 : Perihal Kemarahan).
h.      Adapun orang yang sering-sering bertengkar, ia selalu akan mendapat kesusahan dimanapun ia berada dan apapun yang diperbuat. Ditempat tidur sekalipun tidaklah tenang hatinya, seolah-olah seperti tidur dirumah yang berisi ular. (Sarasamuccaya, 99, hal.47 : Perihal Kemarahan).
i.        Singkatnya, lebih bukanlah orang yang menguasai kemarahan dari pada yang dikuasai oleh kemarahan, meskipun orang yang kedua ini lebih kaya, lebih berkuasa dan lain-lainnya. Begitu pula kesabaran, lebih baik dari ketidak sabaran, biar bagaimanapun kekuasaan orang yang tidak penyabar itu. demikian pula penjelmaan menjadi manusia, meskipun waktu menjadi makhluk lain itu lebih mendapat kesenangan. Menjadi orang suci/bijaksana itu lebih utama daripada tidak menjadi orang suci/bijaksana itu berlimpah-limpah akan harta kekayaan dan lain-lainnya. (Sarasamuccaya, 101, hal.48 : Perihal Kemarahan).
j.        Perhatikan lagi. Ada satu benda yang sama, tetapi berbeda juga tanggapan dari masing-masing orang terhadapnya. Sebagai halnya buah dada sang ibu. Berbedalah hasrat si bayi terhadap buah dada sang ibu daripada kerinduan si ayah. Sebenarnya hanya pikiranlah yang menyebabkan perbedaan itu. (Sarasamuccaya, 85, hal.40 : Perihal Catur Warna).
k.      Bahwa sesungguhnya badan kasar ini tidak kekal keadaannya; kalau ia mati tidak berharga lagi karena sesungguhnya kepalanyapun dapat dilangkahi srigala, demikianlah sebenarnya. Oleh sebab itu, mengapa sampai mencelakakan orang lain untuk memelihara badan kasar ini. Apa sepatutnyakah demikian ?. (Sarasamuccaya, 137, hal.63 : Perihal Ahimsa).
l.        Sungguh disayangkan kehidupan yang tersia-sia dari orang yang tidak mempergunakan hidupnya untuk melaksanakan dharma atau artha atau kama maupun moksa. Dengan demikian hidupnya hanya diisi, untuk kemudian menjadi mangsa dari mulut semata. (Sarasamuccaya, 270, hal.118 : Perihal Harta Benda).

3.      Manusia dan Keindahan
a.       Bahwasannya perbuatan orang yang bijaksana ialah dapat dipercaya, bicara jujur dapat mengendalikan hawa napsu dan selalu tulus lahir batin. Tentulah segala perbuatannya berdasarkan dharma. Perbuatan beliau itulah yang patut engkau jadikan teladan. Jika telah dapat menuruti perbuatan seperti itu, berarti telah dapat pula berbuat dharma. (Sarasamuccaya, 42, hal.21 : Perihal Pelaksanaan Dharma).
b.      Apabila anda sayang kepada nyawa sendiri, mengapa ingin mencabut nyawa lain makhluk ?. Hal itu tidak menghiraukan orang lain namanya. Apa saja yang rasanya menyenangkan untuk dirinya sendiri, itulah yang harus diperbuat terhadap orang lain. (Sarasamuccaya, 136, hal.62 : Perihal Ahimsa).
c.       Bila orang berbuat kebajikan dengan memberi hadiah-hadiah, suka memberi pelajaran dan nasehat-nasehat walaupun kepada orang miskin sehingga dapat menghibur hatinya, maka orang yang demikian akan selamatlah anak cucu dan semua keturunannya, serta akan terkenallah kebaikan budinya. (Sarasamuccaya, 166, hal.74 : Perihal Dana Punia).
d.      Lain daripada itu, jiak ada orang yang memberi pertolongan walaupun pada mereka yang terus-menerus ingin memcelakakan dirinya tetapi suatu saat ditimpa duak cita dan datang meminta pertolongan padanya, maka orang yang demikian perbuatannya adalah manusia utama namanya, benar-benar orang budiman yang paling mulia. (Sarasamuccaya, 167, hal.74 : Perihal Dana Punia).
e.       Memang menakjubkanlah orang yang rela melepas segala hak miliknya karena sesungguhnya ia sudah dapat melakukan hal yang amat sukar adanya. Karena pada umumnya hal itu adalh mustahil bagi kebanyakan orang, sebab memang sulit meninggalkan sesuatu, apalagi yang belum kita peroleh. Karena sesungguhnya tidak berkeputusanlah kehausan kita terhadap yang kita idam-idamkan. (Sarasamuccaya, 173, hal.77 : Perihal Dana Punia).
f.       Karena itu, janganlah suka mencela, janganlah didengarkan orang mencerca orang lain, tutuplah telinga dan menghindarlah dari tempat itu. (Sarasamuccaya, 126, hal.58 : Perihal Nastika).
g.      Adapun pahala upacara dari upacara kurban ialah kelak akan mengecap segala keindahan dan kenikmatan dialam sana. Adapun pahala orang yang suka menolong orang tua adalah hikmah kebijaksanaan, tetap sadar dan waspada, pahalanya orang ahimsa (tidak bunuh-membunuh) ialah panjang usia. Demikian kata orang bijaksana. (Sarasamuccaya, 171, hal.76 : Perihal Dana Punia).
h.      Bahwa amat besarlah kesaktian yang dirasakan seorang ibu ketika melahirkan kit. Sekarang kita berhutang segala-galanya kepadanya yang tak akan terbataskan sampai seratus tahun (seumur hidup). (Sarasamuccaya, 190, hal.85 : Perihal Dana Punia).
i.        Bahwa dana punia berwujud emas, sapi dan sawah ladang itu amat suci. Suci maksudnya dapat menghilangkan mala peteka dan mengantarkan manusia ke suarga loka. (Sarasamuccaya, 197, hal.88 : Perihal Dana Punia).
j.        Apabila dupa harum, boreh wangi, kain-kain halus, karangan bunga dan lain-lain yang disedekahkan, orang yang menyedekahkan itu akan menjelama kelak menjadi orang canti, sehat walafiat dan berbudi pekerti yang baik. (Sarasamuccaya, 201, hal.89 : Perihal Dana Punia).
k.      Pahalanya menghaturkan dana-punia kepada seorang pendeta, kelak sampai di Indraloka dipuja dan dihormati oleh bidadari dan bidadara. (Sarasamuccaya, 205, hal.91 : Perihal Dana Punia).
l.        Adapun orang yang tanpa menghiraukan bahwa dirinya sendiri lapar, tetapi memberikan nasi bekalnya kepada kelana yang tidak dikenalnya yang dijumpainya diperjalanan dan kepayahan, besarlah pahala kebaikan yang akan diterimanya kelak. (Sarasamuccaya, 219,  hal.96 : Perihal Dana Punia).


4.      Manusia dan Penderitaan.
a.       Orang yang sama sekali tidak berbuat kebajikan (dharma), betapakah ia akan enak tidurnya, karena hanya kematian sajalah pintu pemisah untuk langsung masuk alam neraka. (Sarasamuccaya, 218, hal.96 : Perihal Dana Punia).
b.      Orang yang harta kekayaannya mengalir keluar masuk perbendaharaannya tetapi tidak dipergunakan untuk berdana punia, ia adalah tidak lain dari orang mati, bedanya dengan mayat hanyalah ia masih bernafas. Ia tidak bedanya dengan pompa apinya tukang emas. (Sarasamuccaya, 179, hal.80 : Perihal Dana Punia).
c.       Segala perbuatan, baik memuja atau memberi sedekah,bertapa atau berbuat amal tetapi tidak disertai oleh ketulusan hati, segala perbuatan itu dianggap hina dan tidak akan berguna pada kehidupan ini ataupun pada penjelmaan yang akan datang. (Sarasamuccaya, 211, hal.93 : Perihal Dana Punia).
d.      Dan lagi kebahagiaan bercengkrama dengan istri sendiri, atau bercumbu dengan istri orang lain, bayangan kenikmatan serta ahkir bencana yang didapatnya tidaklah berbeda adanya. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Oleh karena demikian apakah gunanya menginginkan istri orang lain. (Sarasamuccaya, 155, hal.70 : Perihal Perbuatan Susila).
e.       Pengetahuan tentang Pustaka Suci Weda yang empat dengan keenam cabang-cabangnya keahlian (Wedangga), filsafat Sankhya dan Purana-Purana serta keturunan atau kebangsawanan seseorang, semua ini tidak ada guna serta hasilnya disebabkan oleh kelakuan yang kurang seronoh. Sehingga percumalah kepandaian dan kebangsawanan itu. (Sarasamuccaya, 164, hal.73 : Perihal Perbuatan Susila).
f.       Jika orang kaya menggembar-gemborkan diri telah bersedekah kepada orang miskin, hal itu tidaklah aneh, karena memang sudah menjadi fungsi, kegunaan dari uang itu untuk disedekahkan. Jika dipakai untuk hal lain daripada itu, menderita kemiskinan namanya. (Sarasamuccaya, 174, hal.77 : Perihal Dana Punia).
g.      Dan lagi kalau tidak mempercayai Weda, tidak menuruti petunjuk-petunjukperi kebajikan (dharma sastra), dan tidak menuruti suruha agama, tentu setelah meninggal akan kembali lagi menjelma dalam hirup kesengsaraan. (Sarasamuccaya, 113, hal.53 : Perihal Nastika).
h.      Dan lagi orang yang ingkar akan laksana dharma, disebebkan oleh angkuhnya serta kecenderungan berbuat jahat, maka orang yang melakukan perbutan tersebut pasti neraka ditemuinya. (Sarasamuccaya, 47, hal.23 : Perihal Pelaksanaan Dharma).
i.        Adapun orang yang berperilaku suka memuji hanya kalau sedang berhadap-hadapan, tetapi mencela sesudah dibelakang, ia dinamai orang yang tidak jujur. Mustahil ia akan mendapat selamat di dunia ini maupun di dunia baka. (Sarasamuccaya, 125, hal.58 : Perihal Satya Wacana).
j.        Inilah kerendahan nilai badan kasar yaitu ia pasti menjadi ulat, abu, atau kotoran. Oleh karena itu mengepa sampai mencelakakan orang lain untuk merawat dan memeliharanya. Untuk apakah itu ?. (Sarasamuccaya, 138, hal.63 : Perihal Ahimsa).
k.      Adapun orang yang keadaannya pada kehidupan ini menjadi manusia penuh dosa, penyakitan, jahat, suka membunuh, pendek umur, maka semua itu menurut ajaran agama adalah pahala yang didapatnya dari perbuatan-perbuatan jahat yang di lakukan dalam penjelmaannya yang lampau. (Sarasamuccaya, 148, hal.67 : Perihal Ahimsa).
l.        Jika ada orang kaya yang patut dimintai tolong oleh keluarganya, tetapi nyatanya keluarganya tetap gelisah menderita tidak tahu apa yang dimakannya, sebagi  halnya kijang bernaung disemak belukar yang terbakar, maka orang kaya tersebut adalah manusia yang amat tercela, tidak patut dimintai maupun diberi sedekah. (Sarasamuccaya, 230, hal.101 : Perihal Pergaulan Hidup).

5.      Manusia dan Pandangan Hidup.
a.       Sesungguhnya tidaklah jauh letaknya racun dan amerta itu. Disinilah, disinilah, di dalam badan sendiri tempatnya. Apabila orang bodoh, suka berbuat kejahatan, racunlah yang diperolehnya; kalau orang selalu jujr, teguh memegang kebenaran ia mendapat amerta. (Sarasamuccaya, 128, hal.59 : Perihal Satya Wacana).
b.      Janganlah berbuat sampai menyebabkan kematian makhluk lain dengan alat “TriKaya”kita, yaitu perbuatan, perkataan dan pikiran kita. lakukanlah “trikaya” yang baik, berdana punialah karena semua ini oleh orang-orang pandai dinamai perbuatan susila. (Sarasamuccaya, 157, hal.70 : Perihal Perbuatan Susila).
c.       Perilaku yang baik adalah dasar mutlak dalam titisan sebagai manusia. bagi orang yang tidak bertabiat baik, sia-sialah kehidupannya sebagai manusia. Segala kekuasaan, kepandaiannya tidak bergunanjika tidak didasari oleh perbuatan susila. (Sarasamuccaya, 160, hal.71 : Perihal Perbuatan Susila).
d.      Sesungguhnya sudah ditentukan bahwa ketiga dunia ini dapat diatasi, dan dikuasai, oleh orang yang tak henti-hentinya berkelakuan baik, sebab tak ada yang tak dapat dicapai oleh orang yang berlaku susila. (Sarasamuccaya, 159, hal.71 : Perihal Perbuatan Susila).
e.       Kebajiakan, kesetiaan, hukum-hukum kehidupan, kekuatan bathin, kekayaan, ketekunan, semua ini adalah dasar perbuatan-perbuatan susila. (Sarasamuccaya, 158, hal.71 : Perihal Perbuatan Susila).
f.       Meski brahmana yang berusia lanjut sekalipun, jika perilakunya tidak susila, tidak patut disegani; biar orang sudra sekalipun, jika perilakunya berpegang kepada dharma dan kesusilaann, patutlah ia dihormati dan disegani juga. Demikian kata sastra suci. (Sarasamuccaya, 161, hal.72 : Perihal Perbuatan Susila).
g.      Perbuatan susila merupakan alat untuk menjaga dharma, sedangkan kebijaksanaan dijaga oleh keteguhan iman dan ketekunan. Adapun kebagusan rupa berpokok pada kebersihan pemeliharaan, sedangkan kebangsawanan berpokok pada perbuatan susila. (Sarasamuccaya, 162, hal.72 : Perihal Perbuatan Susila).
h.      Kebangsawanan seseorang dapat ditilik dari kesusilaan budi pekertinya. Walaupun berasal dari keturunan yang tidak dikenal, asalkan saja ia berkelakuan susila, akan diketahui oranglah akan asal-usulnya yang baik. (Sarasamuccaya, 163, hal.72 : Perihal Perbuatan Susila).
i.        Dan lagi tidak mampu kaum kerabat itu akan menolong melepaskan kita dari krdukacitaan, demikian juga harta benda dan keturunan kebangsawanan. Juga ilmu pengetahuan mantra-mantra dan kekuasaan. Semuanya ini tidak mampu menolong. Yang dapat menolong hanyalah kesusilaan. Karena perrbuatan demikian saja dapat menghilangkan duka nestapa di dunia ini dan juga di dunia baka nanti. (Sarasamuccaya, 165, hal.73 : Perihal Perbuatan Susila).
j.        Sebab hutan yang pohon-pohonnya ditebang dan dibersihkan pasti tumbuh dan sempurna kembali, akan tetapi pikiran yang dibuat merana oleh perkataan kasar dan menyakiti hati tidak menjadi segar kembali. Artinya tidak akan mempertinggi budi perkataan yang kasar itu. (Sarasamuccaya, 122, hal.57 : Perihal Nastika).
k.      Adapun perihal persahabatan ialah bahwa bagai pedagang, saudagar, si juragan perahulah, sahabat yang diajak mengembara ketempat yang terpisah, menjauh. Sahabat laki-laki yang berumah tangga adalah istrinya. Bagi orang sakit dokter dan perawatlah sahabatnya. Orang miskin, hampir mati kelaparan, persedekahan dan dana punialah sahabatnya. (Sarasamuccaya, 168, hal.75 : Perihal Dana Punia).
l.        Karena keutamaannya tirtha yatra itu sungguh-sungguh suci, lebih suci daripada yajna, dan mampu dilakukan oleh orang miskin sekalipun. (Sarasamuccaya, 279, hal.122 : Perihal Harta Benda).

6.      Manusia dan Keadilan.
a.       Adapun orang yang dengki iri hati terhadap sesama manusia, jika memandang emasnya, wajahnya, keagungannya, (penjelmaannya yang baik), kebahagiaannya, kebijaksanaannya dan ketengangannya yang terpuji, hal-hal itulah yang menimbulkan iri hati pada dirinya. Orang yang demikian itu perbuatannya, maka ia akan menerima kesengsaraan sebagai ganjarannya, amat besar kenestapaannya dan tidak dapat diobati. (Sarasamuccaya, 91, hal.43 : Perihal Catur Warna).
b.      Adapun tingkah laku yang harus dilakukan oleh keempat golongan ialah : Arjawa artinya jujur dan terus terang. Anrasangsya artinya tidak nrsangsya. Nrsangsya artinya mementingkan diri sendiri dan tidak hirau pada kesusahan orang lain, hanya mementingkan kesenangan diri pribadi. Itulah yang disebut nrsangsya. Dan perbuatan yang tidak seprti itu disebut anrsangsya. Dama artinya dapat menasehati diri sendiri. Indrya-nigrha artinya mengekang hawa nafsu. Keempat itulah perbuatan yang harus dibiasakan oleh keempat golongan itu, menurut ajaran bharata Manu. (Sarasamuccaya, 63, hal.32 : Perihal Catur Warna).
c.       Sesungguhnya hanya satu saja tujuan agama : seharusnya tidak sangsi lagi orang tenteng yang disebut kebenaran, yang dapat membawa ke sorga atau moksa.  Semua menuju kepadanya. Akan tetapi masing-masing berbeda-beda caranya. Hal itu disebabkan oleh kebingungan, sehingga yan tidak benar dibenarkan : ada yang menyangka, bahwa didalam gua yang besarlah tempatny akebenaran. (Sarasamuccaya, 35, hal.18 : Perihal Keagungan Dharma).
d.      Dan lagi kemuliaaan dharma ialah bagi mereka yang sedang mengejarnya, ia seolah-olah terlindung hidup yang sangat berguna. Sedangkan bagi para pendeta (yang telah melaksanakan dharma) dharma itu adalah merupakan pembantu utama. Tegasnya bahwa dharma dapat menyelamatkan kita ndalam hidup ditiga dunia ini. (Sarasamuccaya, 18, hal.11 : Perihal Keagungan Dharma).
e.       Janganlah suka mencela orang cacat karena kekurangan tau kelebihan anggota-anggota badannya, orang buta huruf, orang sengsara, orang yang tidak sengsara, orang yang tidak berdaya walaupun diumpat, orang tertimpa kecalakaan, orang miskin, orang rendah hati, orang penakut. Semuanya itu, jangan sekali-kali dicela, karena mencela, mereka sama dengan menghina. (Sarasamuccaya, 123, hal.57 : Perihal Satya Wacana).
f.       Dalam melepaskan diri pada kehidupan ini keutaman satia itu mengalahkan keutamaan upacara-upacara, sedekah dan sumpah batin walaupun sama-sama dapat melepaskan kita. (Sarasamuccaya, 129, hal.59 : Perihal Satya Wacana).
g.      Kebangsawanan seseorang dapat ditilik dari kesusilaan budi pekertinya. Walaupun berasal dari keturunan yang tidak dikenal, asalkan saja ia berkelakuan susila, akan diketahui oranglah akan sal usulnya yang baik. (Sarasamuccaya, 163, hal.72 : Perihal Perbuatan Susila).
h.      Biarpun sedekahnya banyak tak ada taranya, walaupun semua kepunyaanny adisedekahkan, tetapi jika memberikannya itu dengan pikiran keruh dan tidak dengan tulus ikhlas, tiada bergunalah sedekah itu. Singkatnya, kerelaan hatinya yang menentukan pahalanya dari dana punia itu. (Sarasamuccaya, 207, hal.91 : Perihal Dana Punia).
i.        Adapun memberikan sedekah yang gampang mendapatnya sebagai umpamanya minyak, air, sumbu, obor, pahalanya ialah akan hidup senang dengan seluruh keluarga di akhirat. (Sarasamuccaya, 202, hal.90 : Perihal Dana Punia).
j.        Karena sesungguhnya sangat sukar mendapt air dijalan kesorga (di padang panangsaran). Maka dengan memberikan air sebagai sedekah, pasti akan memperoleh kepuasan, tidak mendapat kesulitan akan air di dunia sana. (Sarasamuccaya, 203, hal.90 : Perihal Dana Punia).
k.      Sebab sedekah yang berupa makanan pasti membuat senag baikpun bagi yang memberi apalagi bagi yang diberi, demikianlah kenyataan akibat dari pemberian yang menyenangkan. (Sarasamuccaya, 207, hal.91 : Perihal Dana Punia).
l.        Yang sebenarnya di sebut putra adalah orang yang menolong waktu kesusahan, yang segala tenaganya dipergunakan untuk menolong keluarga yang kesakitan, yang mendanakan hasil keuntungannya dengan memberi makan pada orang yang melarat dan semua perbuatannya. Orang yang demikianlah baru seorang putra. (Sarasamuccaya, 228, hal.100 : Perihal Pergaulan Hidup).

7.      Manusia dan Tanggung Jawab.
a.       Inilah tentang pergaulan ; lekas benar pergaulan itu memindahkan sifat yang baik kepada orang yang selalu bergaul dengan orang yang bersifat utama ; buktinya baunya bunga lebih beralih kepada kain, air, minyak dan tanah, disebabkan persentuhannya dengan bunga itu. (Sarasamuccaya, 300, hal.236 : Perihal Sangsara).
b.      Meski hanya sedikit kepandaian seseorang, jiak berdiam pada orang yang bijaksana dan selalu bergaul dengan beliau itu, maka meluas dan makin bertambah kepandaiannya itu, sebagai halnya minyak yang jatuh di air, melimpah-limpah keadaanya. (Sarasamuccaya, 303, hal.237 : Perihal Sangsara).
c.       Namun demikian, janganlah orang yang tidak cinta kepada ilmu pengetahuan, tuntutlah dan kejarlah saja akan ilmu itu, jangan hendaknya dipengaruhi oleh perbuatan dosa, sebab orang yang durbudi (berpekerti jahat) karena tiada ada sifat-sifat satwam padanya, merupakan musuh dirinya sendiri. (Sarasamuccaya, 304, hal.238 : Perihal Sangsara).
d.      Kirti (kemasyhuran) itu, sama halnya dengan seorang ibu, karena sama-sama menghidupi, andaikata lina (hilang) orang yang membuat kemashyuran itu, dianggap seakan-akan ia masih hidup, karena karma baiknya ikut hilang ; akan tetapi si duryasa (tanpa kerti)nyang dianggap seolah-olah mati itu, andaikata ia masih hidup, dengan tanpa kerti, bila dipercakapan kaduryasaannya (keburukannya) maka dianggap ia itu sama halnya dengan mati namanya. (Sarasamuccaya, 320, hal.251 : Perihal Sangsara).
e.       Sebab perbuatan baik itu, sampai ke alam sorga menjadi buah bibir, apalagi di muka bumi ini ; itulah kirti (kemashyuran) namanya ; senantiasa dijadikan pembicaraan ; oleh karena itu usahakanlah berbuat baik, (perbuatan baik itu) selama-lamanya dibicarakan ; demikian pula melaksanakan ; itulah baru benar-benar orang namanya. (Sarasamuccaya, 319, hal.250 : Perihal Sangsara).
f.       Inilah penjaga (pemelihara) nama baik ; janagn berkhianat kepada sahabat ; drohaka artinya menghendaki akan matinya sahabat itu, jang berkhianat kepada orang yang dipercaya baik kepada orang yang menaruh kepercayaan kepada anada maupun kepada orang yang nasinya anda makan, demikian pula kepada orang tempat anda mendapat perlindungan sebab tidak tahu berterimakasih dikatakan perbuatan nista yang demikian, tidak tahu membayar hutang-hutang yang lampau. (Sarasamuccaya, 321, hal.251: Perihal Sangsara).
g.      Adapun orang yang melakukan perbuatan jahat itu, dinamai orang yang tidak sayang akan dirinya, oleh sebab dirinya sendiri berbuat kejahatan itu ; karenanya dirinya sendirilah yang mengalami akibatnya kemudian. (Sarasamuccaya, 324, hal.254 : Perihal Sangsara).
h.      Sebab di dunia ini sang pandita sungguhpun cukup bijaksana, tiada luput beliau daripada noda, dikuasai oleh alat yang ada pada tubuh wanita, yaitu kulit yang berukuran sebesar jejak kaki kijang. (Sarasamuccaya, 437, hal.340 : Perihal Stri).
i.        Ada orang yang mempertaruhkan hidupnya, mati dalam peperangan, oleh sebab keras hatinya mengejar kekayaan ; yang lainnya dengan tanpa alasan (dengan begitu saja) menghambakan dirinya dengan maksud untul ; menjadi abdi, disebabkan oleh keinginannya kan kekayaan. (Sarasamuccaya, 466, hal.365 : Perihal Trsna).
j.        Lihatlah orang lain, sekalipun hanya satu barangnya, akan tetapi berbeda juga tanggapan tiap-tiap orang terhadapnya, nyatanya sebagai buah dada seseorang ibu, berbedalah tanggapan si anak yang mencintai si ibu dari pada tanggapan si ayah ; jadinya pikiranlah yang membuat perbedaan itu. (Sarasamuccaya, 85, hal.74 : Perihal Trikaya).
k.      Segala orang, baik golongan rendah, menengah atau tinggi, selama kerja baik menjadi kesenangan hatinya, niscaya tercapailah segala yang diusahakan memperolehnya. (Sarasamuccaya, 17, hal.19 : Perihal Keagungan Dharma).
l.        Adalah orang yang tidak bimbang, bahkan budunya tetap teguh untuk mengikuti jalan pelaksanaan dharma ; orang itulah sangat bahagia, kata orang yang berilmu, tidak akan menyebabkan kaum kerabat dan handai tauladannya bersedih hati, meski ia sampai berkelana meminta-minta sedekah untuk menyambung hidupnya. (Sarasamuccaya, 19, hal.20 : Perihal Keagungan Dharma).

8.      Manusia dan Harapan
a.       Sebab orang itu ada yang senang pada hidupnya sekarang saja, tidak sensng pada hidupnya yang lain ; ada yang hanya berbahagia pada hidupnya yang lain saja, tetapi tidak senang pada hidupnya sekarang ; ada yang bersenang pada hidupnya sekarang, pada hidupnya yang lain bersenang pula ; ada yang sama sekali tidak bahagia pada hidupnya sekarang, pun tidak pada hidupnya yang lain. (Sarasamuccaya, 212, hal.215: Perihal Sukha).
b.      Akan tetapi orang yang tidak bertangguh melakukan semadhi, tekun melaksanakan tapa, senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan, menguasai hawa nafsu dan mengasihi sekalian makhluk ; orang yang demikian keadaannya, itulah disebut mengalami kesenangan kelas di dunia yang lain. (Sarasamuccaya, 274, hal.217 : Perihal Sukha).
c.       Berikut ini adalah orang yang memperoleh “suka” sekarang dan “suka” kemudian, orang itu mengusahakan laksana dharma, sesudahnya sempurna terlaksana usaha dharma itu, maka berikhtiarlah ia memperoleh harta kekayaan, dengan dharma pula ia berusaha (memperoleh harta), lalu ia beristri, mengenyam kenikmatan duniawi ; dharma pula landasannya dan kemudian mengadakan upacara kebaktian dan pujaan, dewa yajna, pitra yajna ; orang yang demikian perilakunya menikmati “suka” sekarang dan “suka” kemudian. (Sarasamuccaya, 275, hal. 217 : Perihal Sukha).
d.      Berikut inilah kedudukan di alam sorga ; setelah selesai menikmati hasil perbuatannya yang menyebabkan ia dapat mencapai sorga loka, maka layulah bunga yang tersunting dirambut orang yang tinggal di alam sorga ; itulah saat permulaan yang membuat kesedihan ; apabila ia jatuh dari alam para dewa, bukan alang kepalang duka nestapanya, demikianlah seluruh perasaan hati duka yang diperoleh di alam para dewa, sampai di alam Brahma demikian keadaan kedukaan itu. (Sarasamuccaya, 393, hal. 205 : Perihal Pitrayana-Dewayana).
e.       Bahwa di dunia ini tidak ada yang lebih sulit dilakukan daripada berdana-punia (bersedekah). Umumnya, orang amat sayang akan harta kekayaannya karena mendapatkannyapun dengan susuah payah. (Sarasamuccaya, 171, hal. 76 : Perihal Dana Punia).
f.       Tenaglah hati yang bingung. Mulailah sabarkan ajaran-ajaran agama dan ketentuan kesopanan hidup masing-masing kepada keempat golongan masyarakat. Berbuatlah kebajikan untuk umum dan laksanakanlah ajaran-ajaran kesuliaan. (Sarasamuccaya, 253, hal. 110 : Perihal Perbuatan Terpuji).
g.      Jika ingin masuk sorga, janganlah mengambil sesuatu yang belum diijinka, jangan melakukan pembunuhan, jangan ingkar akan janji, jangan memikirkan untuk berzina (memperkosa wanita). (Sarasamuccaya, 256, hal. 111 : Perihal Perbuatan Terpuji).
h.      Lagipula hendaknya selalu tetap melakukan ajaran Yama. Adapun ajaran Niyama itu bolehlah tidak secara tetap dilakukan. Karena ia yang terlalu mengikatkan diri pada ajaran-ajaran Niyama, tanpa menyiapkan diri untuk melakukan Yama, ia akan terjerumus ke jurang sengsara. (Sarasamuccaya, 258, hal. 112 : Perihal Perbuatan Terpuji).
i.        Adapun melakukan semua perbuatan itu haruslah berdasarkan pada dharma (kebenaran). Demikian juga dalam mengumpulkan harta benda yang caranya dapat dibagi tiga. Ketiga macam jalan ini hendaknya dilaksanakan dengan baik-baik. (Sarasamuccaya, 261, hal. 114 : Perihal Harta Benda).
j.        Ada tiga macam pahala kehidupan manusia yaitu dharma, artha dan kama. Demikianlah jenisnya yang tiga dan janganlah sampai dikuasai oleh adharma. (Sarasamuccaya, 268, hal. 117 : Perihal Harta Benda).
k.      Beginilah yang disebut bahagia di alam fana yakni orang kaya yang tak terhingga banyak emas peraknya dan semuanya itu dinikmatinya, dipergunakannya tetapi tidak dikorbankannya untuk berbuat kebajikan. Orang yang demikian tingkah lakuknya hanya bahagia di alam kehidupan ini. (Sarasamuccaya, 273, hal. 119 : Perihal Harta Benda).
l.        Adapun orang yang tak jemu-jemunya bersamadhi, tekun melakukan tapa, senantiasa mengajar ilmu pengetahuan, menguasai hawa nafsu, belas kasihan terhadap serba yang hidup, orang yang demikian itu kebahagiaannya dikecapnya kelak di alam baka. (Sarasamuccaya, 274, hal.120 : Perihal Harta Benda).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar