Ilmu Sosial Budaya Dasar
1.
Manusia
dan Cinta Kasih
a. Tresna
itu artinya kehausan untuk melakukan perbuatan tidak baik yang menyebabkan
denganki dan takut. Dikuasai oleh rasa kejahatan yang besar, takut jadinya akan
akibat jelek yang akan diterima. (Sarasamuccaya, 448, hal.198 : Perihal Tresna).
b. Karena
cinta itu adalah biang keladi kesedihan. Cintalah yang menyebabkan terikat
terbelenggu, sehinggan menemui kedukaan jadinya. (Sarasamuccaya, 477, hal.212 :
Perihal Ikatan Cinta Kasih).
c. Demikian
melekatnya cinta seseorang terhadap anak, istri dan keluarga, sehingga lambat
laun pasti tenggelam sulit ditolong, sama dengan gajah tua yang tenggelam dalam
lumpur. (Sarasamuccaya, 478, hal.213 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
d. Tetapi
cinta kasih terhadap anak istri adalah racun yang luar biasa mematikannya di
dunia ini. Racun itu sangat mujarab yang mengobati apa yang tidak dapt diobati,
sebab semua mereka yang sudah dikenainya kacau pikirannya, sengsara, bingung
berputar terus jadinya, tidak putus-putusnya menjelma kembali berada dalam
lingkaran kelahiran. (Sarasamuccaya, 479, hal.213 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
e. Sebagai
halnya sepotong batang kayu yang terapung-apung di laut. Suatu saat ia bertemu
dengan sesamanya batang kayu, dan setelah itu nyatanya berpisah dan kemudian
bertemu lagi. Demikian pulalah pertemuan semua makhluk hidup dengan sesamanya.
Tidak langgeng adanya, kenyataanya berakhir dengan berpisah, dan bisa bertemu
pula nantinya. (Sarasamuccaya, 484, hal.216 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
f. Demikian
pula halnya anak, cucu, buyut, keluarga kawan dan sesama hidup, bertemu anda
dengan semua mereka itu, dalam sesaat pula, bisa berakhirkah dengan perpisahan
nantinya. Oleh karena itu janganlah sampai terlalu keras disaputi cinta kasih.
(Sarasamuccaya, 485, hal.216 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
g. Tidak
ada yuang namanyapertemuan langgeng. Suatu saat bertemu, suatu saat tidak
bertemu. Betapa tidak langgengnya itu. pertemuan anda dengan badan wadag anda
inipun tidak langgeng pada hakekatnya. Tak usah pula menyebutkan yang
lain-lainnya, anggota badan kita sendiripun pada akhirnya akan berpisah pula.
(Sarasamuccaya, 487, hal.217 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
h. Sesungguhnyalah
bahwa berganti-ganti adanya suka dengan duka, ada dengan tidak ada, sikaya dengan
si miskin, mati dengan hidup, semua itu berganti-gantian adanya pada setiap
makhluk. Orang yang bijaksana sadar akan hal itu, oleh karena tidak bergimbara,
tidak bersedih hati hingga tenang dan sucilah hatinya. (Sarasamuccaya, 496,
hal.221 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
i.
Pendeknya, rasakanlah datangnya
kegembuiraan, dan rasakan pulalah kesedihan yang datang. Lain katanya,
hadapilah dengan sabar suka dan duka itu, janganlah ada yang dikerjakan atau
dikesampingkan atas kedatangannya masing-masing. Laksanakanlah olehmu tugas dan
kewajiban hidup ini. Sebagai halnya petani yang bekerja disawah, dengan sabar
dikerjakannya, dengan menahan panas dan dingin sambil menantikan berbuahnya
padi yang dikerjakan itu. (Sarasamuccaya, 497, hal.221 : Perihal Ikatan Cinta
Kasih).
j.
Adapun orang yang mempertahankan
kelekatan hati pada sesuatu yang dikasihi, pipatrikan dalam hatinya, telah
menutup-nutupi kesedihan, walau hatinya seolah-olah ditusuk oleh lembing
layaknya. (Sarasamuccaya, 476, hal.212 : Perihal Ikatan Cinta Kasih).
k. Tidak
ada benda apapun di dunia ini, yang dapat memuaskan kehausan (trsna) itu, sebab
bagi orang yang besar kehausannya, tidak bedanya dengan lautan, betapa mungkin
akan dapt terpenuhi. (Sarasamuccaya, 452, hal.200 : Perihal Tresna)
l.
Sebab yang dinamai trsna (kehausan)
itu, besarlah ia memangnya, dan bertambah besar pula kewibawaan segala apa yang
di tresnai itu, semakin tumbuh jadi besarlah ia. Sebagia halnya tanduk lembu
yang semakin panjang jadinya. Makin besar lembu yang sudah bertanduk itu,
semakin panjanglah tanduknya. Demikianlah halnya tresna itu, makin besar
jadinya sesuai dengan tubuhnya segala kepunyaan yang di tresnai itu (antara
lain benda dan hak milik lainnyatermasuk anak istri dan kekasih).
(Sarasamuccaya, 453, hal.200 : Perihal Tresna).
m. Oleh
karena tidak ada yang lebih mulia daripada jiwa, hanya jiwalah yang harus
dimuliakan di dunia, maka orang hendaknya mengasihi makhluk lain sebagai ia
mengasihi dirinya sendiri. Demikianlah hendaknya kasih sayang kita kepada orang
lain. (Sarasamuccaya, 146, hal.66 : Perihal Ahimsa).
2.
Manusia
dan Kegelisahan
a. Pendeknya,
tresna itu menimbulkan kelobaan, kelobaan itu adalah pengumpulan dari segala
kejahatan. Karena orang yang lubdha yaitu orang yang diselimuti oleh kelobaan,
pasti ia akan melakukan hal-hal yang jahat walaupun dia itu orang yang pandai
sekalipun. (Sarasamuccaya, 459, hal.204 : Perihal Kelobaan).
b. Kalau
kelobaan makin timbul, pasti tidak puaslah hidup orang itu. semakin tidak puas
hidupnya, pasti ia akan mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Lagi pula
bertambah kuat kekuasaan indria yang disebabkan oleh kelobaan itu, hingga
akhirnya sangat berkuasa indria itu, maka hilanglah kepandaian seseorang serta
segala ilmu yang diketahui oleh orang itu, sebagai halnya ilmu yang tidak
pernah diamalkan. (Sarasamuccaya, 460, hal.204 : Perihal Kelobaan).
c. Dan
lagi tidak ada kecualinya, ketakutan dari orang yang mempunyai harta kekayaan
itu namanya. Karena ia takut pada raja (negara), air pada api, pada pencuri
pada sanak keluarga. Jufga banyaklah yang ditakuti oleh orang-orang kaya itu,
sebagai halnya Dewa maut yang ditakuti selalu oleh semua makhluk hidup. (Sarasamuccaya,
463, hal.206 : Perihal Kelobaan).
d. Disamping
itu ia juga menimbulkan kemabukan, sebab ada tiga hal yang bisa menimbulkan
kemabukan itu yang menyebabkan kagumnyua orang-orang yang dungu. Masing-masingnya
ialah wanita, makanan dan minuman dll. dan kekuasaan itulah yang menimbulkan
kemabukan. Kalau ada yang suka akan itu, dan itu sebenarnya tidur tidak sadar
akan dunia ini sebenarnya. (Sarasamuccaya, 468, hal.209 : Perihal Kelobaan).
e. Pendeknya,
janganlah sampai terpesona, terlalu berkelebihan mengejar kewibawaan,
secukup-cukupnya saja. Karena (apalagi ditambah beban dengan kewibawaan)
sedangkan badan ini saja bisa menyebabkan kesulitan, tidak bisa dibawa, tidak
mungkin dipelihara, atau dibantu kalau sudah Tuhan ( Sang Hyang Widhi Wasa)
mentakdirkan. (Sarasamuccaya, 470, hal.209 : Perihal Kelobaan).
f. Sebab
sebanyak-banyaknya tumpukan harta kekayaan, dan setiap orang yang mencari
kepuasan hidup, tidak ada diantara mereka yang luput dari bencana. Demikianlah
keadaannya. Oleh kerena itu bagi mereka yang sadar ditinggalkannyalah
kegilaan-kegilaan terhadap harta kekayaan itu, dijauhkanlah dirinya dari sumber
kesengsaraan itu. (Sarasamuccaya, 472, hal.210 : Perihal Kelobaan).
g. Adapun
orang yang bersifat tenang itu tidaklah dibedakannya antara dirinya dengan
segala makhluk lainnya katanya : “oh kasihan !” sehingga beliau tidak berbuat
kejam dan pemarah. Inilah kebahagiaan yang sejati ! kini beliau mendapat
kebahagiaan maka di akhiratpun kelak beliau mendapatkan pula kebahagiaan.
(Sarasamuccaya, 98, hal.47 : Perihal Kemarahan).
h. Adapun
orang yang sering-sering bertengkar, ia selalu akan mendapat kesusahan
dimanapun ia berada dan apapun yang diperbuat. Ditempat tidur sekalipun tidaklah
tenang hatinya, seolah-olah seperti tidur dirumah yang berisi ular. (Sarasamuccaya,
99, hal.47 : Perihal Kemarahan).
i.
Singkatnya, lebih bukanlah orang
yang menguasai kemarahan dari pada yang dikuasai oleh kemarahan, meskipun orang
yang kedua ini lebih kaya, lebih berkuasa dan lain-lainnya. Begitu pula
kesabaran, lebih baik dari ketidak sabaran, biar bagaimanapun kekuasaan orang
yang tidak penyabar itu. demikian pula penjelmaan menjadi manusia, meskipun
waktu menjadi makhluk lain itu lebih mendapat kesenangan. Menjadi orang
suci/bijaksana itu lebih utama daripada tidak menjadi orang suci/bijaksana itu
berlimpah-limpah akan harta kekayaan dan lain-lainnya. (Sarasamuccaya, 101,
hal.48 : Perihal Kemarahan).
j.
Perhatikan lagi. Ada satu benda
yang sama, tetapi berbeda juga tanggapan dari masing-masing orang terhadapnya.
Sebagai halnya buah dada sang ibu. Berbedalah hasrat si bayi terhadap buah dada
sang ibu daripada kerinduan si ayah. Sebenarnya hanya pikiranlah yang
menyebabkan perbedaan itu. (Sarasamuccaya, 85, hal.40 : Perihal Catur Warna).
k. Bahwa
sesungguhnya badan kasar ini tidak kekal keadaannya; kalau ia mati tidak
berharga lagi karena sesungguhnya kepalanyapun dapat dilangkahi srigala,
demikianlah sebenarnya. Oleh sebab itu, mengapa sampai mencelakakan orang lain
untuk memelihara badan kasar ini. Apa sepatutnyakah demikian ?. (Sarasamuccaya,
137, hal.63 : Perihal Ahimsa).
l.
Sungguh disayangkan kehidupan
yang tersia-sia dari orang yang tidak mempergunakan hidupnya untuk melaksanakan
dharma atau artha atau kama maupun moksa. Dengan demikian hidupnya hanya diisi,
untuk kemudian menjadi mangsa dari mulut semata. (Sarasamuccaya, 270, hal.118 :
Perihal Harta Benda).
3.
Manusia
dan Keindahan
a. Bahwasannya
perbuatan orang yang bijaksana ialah dapat dipercaya, bicara jujur dapat
mengendalikan hawa napsu dan selalu tulus lahir batin. Tentulah segala
perbuatannya berdasarkan dharma. Perbuatan beliau itulah yang patut engkau
jadikan teladan. Jika telah dapat menuruti perbuatan seperti itu, berarti telah
dapat pula berbuat dharma. (Sarasamuccaya, 42, hal.21 : Perihal Pelaksanaan
Dharma).
b. Apabila
anda sayang kepada nyawa sendiri, mengapa ingin mencabut nyawa lain makhluk ?.
Hal itu tidak menghiraukan orang lain namanya. Apa saja yang rasanya menyenangkan
untuk dirinya sendiri, itulah yang harus diperbuat terhadap orang lain. (Sarasamuccaya,
136, hal.62 : Perihal Ahimsa).
c. Bila
orang berbuat kebajikan dengan memberi hadiah-hadiah, suka memberi pelajaran
dan nasehat-nasehat walaupun kepada orang miskin sehingga dapat menghibur
hatinya, maka orang yang demikian akan selamatlah anak cucu dan semua
keturunannya, serta akan terkenallah kebaikan budinya. (Sarasamuccaya, 166,
hal.74 : Perihal Dana Punia).
d. Lain
daripada itu, jiak ada orang yang memberi pertolongan walaupun pada mereka yang
terus-menerus ingin memcelakakan dirinya tetapi suatu saat ditimpa duak cita
dan datang meminta pertolongan padanya, maka orang yang demikian perbuatannya
adalah manusia utama namanya, benar-benar orang budiman yang paling mulia. (Sarasamuccaya,
167, hal.74 : Perihal Dana Punia).
e. Memang
menakjubkanlah orang yang rela melepas segala hak miliknya karena sesungguhnya
ia sudah dapat melakukan hal yang amat sukar adanya. Karena pada umumnya hal
itu adalh mustahil bagi kebanyakan orang, sebab memang sulit meninggalkan
sesuatu, apalagi yang belum kita peroleh. Karena sesungguhnya tidak
berkeputusanlah kehausan kita terhadap yang kita idam-idamkan. (Sarasamuccaya,
173, hal.77 : Perihal Dana Punia).
f. Karena
itu, janganlah suka mencela, janganlah didengarkan orang mencerca orang lain,
tutuplah telinga dan menghindarlah dari tempat itu. (Sarasamuccaya, 126, hal.58
: Perihal Nastika).
g. Adapun
pahala upacara dari upacara kurban ialah kelak akan mengecap segala keindahan
dan kenikmatan dialam sana. Adapun pahala orang yang suka menolong orang tua
adalah hikmah kebijaksanaan, tetap sadar dan waspada, pahalanya orang ahimsa
(tidak bunuh-membunuh) ialah panjang usia. Demikian kata orang bijaksana. (Sarasamuccaya,
171, hal.76 : Perihal Dana Punia).
h. Bahwa
amat besarlah kesaktian yang dirasakan seorang ibu ketika melahirkan kit.
Sekarang kita berhutang segala-galanya kepadanya yang tak akan terbataskan
sampai seratus tahun (seumur hidup). (Sarasamuccaya, 190, hal.85 : Perihal Dana
Punia).
i.
Bahwa dana punia berwujud emas,
sapi dan sawah ladang itu amat suci. Suci maksudnya dapat menghilangkan mala
peteka dan mengantarkan manusia ke suarga loka. (Sarasamuccaya, 197, hal.88 :
Perihal Dana Punia).
j.
Apabila dupa harum, boreh wangi,
kain-kain halus, karangan bunga dan lain-lain yang disedekahkan, orang yang
menyedekahkan itu akan menjelama kelak menjadi orang canti, sehat walafiat dan
berbudi pekerti yang baik. (Sarasamuccaya, 201, hal.89 : Perihal Dana Punia).
k. Pahalanya
menghaturkan dana-punia kepada seorang pendeta, kelak sampai di Indraloka
dipuja dan dihormati oleh bidadari dan bidadara. (Sarasamuccaya, 205, hal.91 :
Perihal Dana Punia).
l.
Adapun orang yang tanpa
menghiraukan bahwa dirinya sendiri lapar, tetapi memberikan nasi bekalnya
kepada kelana yang tidak dikenalnya yang dijumpainya diperjalanan dan
kepayahan, besarlah pahala kebaikan yang akan diterimanya kelak. (Sarasamuccaya,
219, hal.96 : Perihal Dana Punia).
4.
Manusia
dan Penderitaan.
a. Orang
yang sama sekali tidak berbuat kebajikan (dharma), betapakah ia akan enak
tidurnya, karena hanya kematian sajalah pintu pemisah untuk langsung masuk alam
neraka. (Sarasamuccaya, 218, hal.96 : Perihal Dana Punia).
b. Orang
yang harta kekayaannya mengalir keluar masuk perbendaharaannya tetapi tidak
dipergunakan untuk berdana punia, ia adalah tidak lain dari orang mati, bedanya
dengan mayat hanyalah ia masih bernafas. Ia tidak bedanya dengan pompa apinya
tukang emas. (Sarasamuccaya, 179, hal.80 : Perihal Dana Punia).
c. Segala
perbuatan, baik memuja atau memberi sedekah,bertapa atau berbuat amal tetapi
tidak disertai oleh ketulusan hati, segala perbuatan itu dianggap hina dan
tidak akan berguna pada kehidupan ini ataupun pada penjelmaan yang akan datang.
(Sarasamuccaya, 211, hal.93 : Perihal Dana Punia).
d. Dan
lagi kebahagiaan bercengkrama dengan istri sendiri, atau bercumbu dengan istri
orang lain, bayangan kenikmatan serta ahkir bencana yang didapatnya tidaklah
berbeda adanya. Tidak ada perbedaan antara keduanya. Oleh karena demikian
apakah gunanya menginginkan istri orang lain. (Sarasamuccaya, 155, hal.70 :
Perihal Perbuatan Susila).
e. Pengetahuan
tentang Pustaka Suci Weda yang empat dengan keenam cabang-cabangnya keahlian
(Wedangga), filsafat Sankhya dan Purana-Purana serta keturunan atau
kebangsawanan seseorang, semua ini tidak ada guna serta hasilnya disebabkan
oleh kelakuan yang kurang seronoh. Sehingga percumalah kepandaian dan
kebangsawanan itu. (Sarasamuccaya, 164, hal.73 : Perihal Perbuatan Susila).
f. Jika
orang kaya menggembar-gemborkan diri telah bersedekah kepada orang miskin, hal
itu tidaklah aneh, karena memang sudah menjadi fungsi, kegunaan dari uang itu
untuk disedekahkan. Jika dipakai untuk hal lain daripada itu, menderita
kemiskinan namanya. (Sarasamuccaya, 174, hal.77 : Perihal Dana Punia).
g. Dan
lagi kalau tidak mempercayai Weda, tidak menuruti petunjuk-petunjukperi
kebajikan (dharma sastra), dan tidak menuruti suruha agama, tentu setelah
meninggal akan kembali lagi menjelma dalam hirup kesengsaraan. (Sarasamuccaya,
113, hal.53 : Perihal Nastika).
h. Dan
lagi orang yang ingkar akan laksana dharma, disebebkan oleh angkuhnya serta
kecenderungan berbuat jahat, maka orang yang melakukan perbutan tersebut pasti
neraka ditemuinya. (Sarasamuccaya, 47, hal.23 : Perihal Pelaksanaan Dharma).
i.
Adapun orang yang berperilaku
suka memuji hanya kalau sedang berhadap-hadapan, tetapi mencela sesudah
dibelakang, ia dinamai orang yang tidak jujur. Mustahil ia akan mendapat
selamat di dunia ini maupun di dunia baka. (Sarasamuccaya, 125, hal.58 :
Perihal Satya Wacana).
j.
Inilah kerendahan nilai badan
kasar yaitu ia pasti menjadi ulat, abu, atau kotoran. Oleh karena itu mengepa
sampai mencelakakan orang lain untuk merawat dan memeliharanya. Untuk apakah
itu ?. (Sarasamuccaya, 138, hal.63 : Perihal Ahimsa).
k. Adapun
orang yang keadaannya pada kehidupan ini menjadi manusia penuh dosa,
penyakitan, jahat, suka membunuh, pendek umur, maka semua itu menurut ajaran
agama adalah pahala yang didapatnya dari perbuatan-perbuatan jahat yang di
lakukan dalam penjelmaannya yang lampau. (Sarasamuccaya, 148, hal.67 : Perihal Ahimsa).
l.
Jika ada orang kaya yang patut
dimintai tolong oleh keluarganya, tetapi nyatanya keluarganya tetap gelisah
menderita tidak tahu apa yang dimakannya, sebagi halnya kijang bernaung disemak belukar yang
terbakar, maka orang kaya tersebut adalah manusia yang amat tercela, tidak
patut dimintai maupun diberi sedekah. (Sarasamuccaya, 230, hal.101 : Perihal Pergaulan
Hidup).
5.
Manusia
dan Pandangan Hidup.
a. Sesungguhnya
tidaklah jauh letaknya racun dan amerta itu. Disinilah, disinilah, di dalam
badan sendiri tempatnya. Apabila orang bodoh, suka berbuat kejahatan, racunlah
yang diperolehnya; kalau orang selalu jujr, teguh memegang kebenaran ia
mendapat amerta. (Sarasamuccaya, 128, hal.59 : Perihal Satya Wacana).
b. Janganlah
berbuat sampai menyebabkan kematian makhluk lain dengan alat “TriKaya”kita,
yaitu perbuatan, perkataan dan pikiran kita. lakukanlah “trikaya” yang baik,
berdana punialah karena semua ini oleh orang-orang pandai dinamai perbuatan
susila. (Sarasamuccaya, 157, hal.70 : Perihal Perbuatan Susila).
c. Perilaku
yang baik adalah dasar mutlak dalam titisan sebagai manusia. bagi orang yang
tidak bertabiat baik, sia-sialah kehidupannya sebagai manusia. Segala
kekuasaan, kepandaiannya tidak bergunanjika tidak didasari oleh perbuatan
susila. (Sarasamuccaya, 160, hal.71 : Perihal Perbuatan Susila).
d. Sesungguhnya
sudah ditentukan bahwa ketiga dunia ini dapat diatasi, dan dikuasai, oleh orang
yang tak henti-hentinya berkelakuan baik, sebab tak ada yang tak dapat dicapai
oleh orang yang berlaku susila. (Sarasamuccaya, 159, hal.71 : Perihal Perbuatan
Susila).
e. Kebajiakan,
kesetiaan, hukum-hukum kehidupan, kekuatan bathin, kekayaan, ketekunan, semua
ini adalah dasar perbuatan-perbuatan susila. (Sarasamuccaya, 158, hal.71 :
Perihal Perbuatan Susila).
f. Meski
brahmana yang berusia lanjut sekalipun, jika perilakunya tidak susila, tidak
patut disegani; biar orang sudra sekalipun, jika perilakunya berpegang kepada
dharma dan kesusilaann, patutlah ia dihormati dan disegani juga. Demikian kata
sastra suci. (Sarasamuccaya, 161, hal.72 : Perihal Perbuatan Susila).
g. Perbuatan
susila merupakan alat untuk menjaga dharma, sedangkan kebijaksanaan dijaga oleh
keteguhan iman dan ketekunan. Adapun kebagusan rupa berpokok pada kebersihan
pemeliharaan, sedangkan kebangsawanan berpokok pada perbuatan susila. (Sarasamuccaya,
162, hal.72 : Perihal Perbuatan Susila).
h. Kebangsawanan
seseorang dapat ditilik dari kesusilaan budi pekertinya. Walaupun berasal dari
keturunan yang tidak dikenal, asalkan saja ia berkelakuan susila, akan diketahui
oranglah akan asal-usulnya yang baik. (Sarasamuccaya, 163, hal.72 : Perihal Perbuatan
Susila).
i.
Dan lagi tidak mampu kaum kerabat
itu akan menolong melepaskan kita dari krdukacitaan, demikian juga harta benda
dan keturunan kebangsawanan. Juga ilmu pengetahuan mantra-mantra dan kekuasaan.
Semuanya ini tidak mampu menolong. Yang dapat menolong hanyalah kesusilaan.
Karena perrbuatan demikian saja dapat menghilangkan duka nestapa di dunia ini
dan juga di dunia baka nanti. (Sarasamuccaya, 165, hal.73 : Perihal Perbuatan
Susila).
j.
Sebab hutan yang pohon-pohonnya
ditebang dan dibersihkan pasti tumbuh dan sempurna kembali, akan tetapi pikiran
yang dibuat merana oleh perkataan kasar dan menyakiti hati tidak menjadi segar
kembali. Artinya tidak akan mempertinggi budi perkataan yang kasar itu. (Sarasamuccaya,
122, hal.57 : Perihal Nastika).
k. Adapun
perihal persahabatan ialah bahwa bagai pedagang, saudagar, si juragan
perahulah, sahabat yang diajak mengembara ketempat yang terpisah, menjauh.
Sahabat laki-laki yang berumah tangga adalah istrinya. Bagi orang sakit dokter
dan perawatlah sahabatnya. Orang miskin, hampir mati kelaparan, persedekahan
dan dana punialah sahabatnya. (Sarasamuccaya, 168, hal.75 : Perihal Dana
Punia).
l.
Karena keutamaannya tirtha yatra
itu sungguh-sungguh suci, lebih suci daripada yajna, dan mampu dilakukan oleh
orang miskin sekalipun. (Sarasamuccaya, 279, hal.122 : Perihal Harta Benda).
6.
Manusia
dan Keadilan.
a. Adapun
orang yang dengki iri hati terhadap sesama manusia, jika memandang emasnya,
wajahnya, keagungannya, (penjelmaannya yang baik), kebahagiaannya,
kebijaksanaannya dan ketengangannya yang terpuji, hal-hal itulah yang
menimbulkan iri hati pada dirinya. Orang yang demikian itu perbuatannya, maka
ia akan menerima kesengsaraan sebagai ganjarannya, amat besar kenestapaannya
dan tidak dapat diobati. (Sarasamuccaya, 91, hal.43 : Perihal Catur Warna).
b. Adapun
tingkah laku yang harus dilakukan oleh keempat golongan ialah : Arjawa artinya
jujur dan terus terang. Anrasangsya artinya tidak nrsangsya. Nrsangsya artinya
mementingkan diri sendiri dan tidak hirau pada kesusahan orang lain, hanya
mementingkan kesenangan diri pribadi. Itulah yang disebut nrsangsya. Dan perbuatan
yang tidak seprti itu disebut anrsangsya. Dama artinya dapat menasehati diri
sendiri. Indrya-nigrha artinya mengekang hawa nafsu. Keempat itulah perbuatan
yang harus dibiasakan oleh keempat golongan itu, menurut ajaran bharata Manu. (Sarasamuccaya,
63, hal.32 : Perihal Catur Warna).
c. Sesungguhnya
hanya satu saja tujuan agama : seharusnya tidak sangsi lagi orang tenteng yang
disebut kebenaran, yang dapat membawa ke sorga atau moksa. Semua menuju kepadanya. Akan tetapi
masing-masing berbeda-beda caranya. Hal itu disebabkan oleh kebingungan,
sehingga yan tidak benar dibenarkan : ada yang menyangka, bahwa didalam gua
yang besarlah tempatny akebenaran. (Sarasamuccaya, 35, hal.18 : Perihal Keagungan
Dharma).
d. Dan
lagi kemuliaaan dharma ialah bagi mereka yang sedang mengejarnya, ia
seolah-olah terlindung hidup yang sangat berguna. Sedangkan bagi para pendeta
(yang telah melaksanakan dharma) dharma itu adalah merupakan pembantu utama.
Tegasnya bahwa dharma dapat menyelamatkan kita ndalam hidup ditiga dunia ini. (Sarasamuccaya,
18, hal.11 : Perihal Keagungan Dharma).
e. Janganlah
suka mencela orang cacat karena kekurangan tau kelebihan anggota-anggota
badannya, orang buta huruf, orang sengsara, orang yang tidak sengsara, orang
yang tidak berdaya walaupun diumpat, orang tertimpa kecalakaan, orang miskin,
orang rendah hati, orang penakut. Semuanya itu, jangan sekali-kali dicela,
karena mencela, mereka sama dengan menghina. (Sarasamuccaya, 123, hal.57 :
Perihal Satya Wacana).
f. Dalam
melepaskan diri pada kehidupan ini keutaman satia itu mengalahkan keutamaan
upacara-upacara, sedekah dan sumpah batin walaupun sama-sama dapat melepaskan
kita. (Sarasamuccaya, 129, hal.59 : Perihal Satya Wacana).
g. Kebangsawanan
seseorang dapat ditilik dari kesusilaan budi pekertinya. Walaupun berasal dari
keturunan yang tidak dikenal, asalkan saja ia berkelakuan susila, akan
diketahui oranglah akan sal usulnya yang baik. (Sarasamuccaya, 163, hal.72 :
Perihal Perbuatan Susila).
h. Biarpun
sedekahnya banyak tak ada taranya, walaupun semua kepunyaanny adisedekahkan,
tetapi jika memberikannya itu dengan pikiran keruh dan tidak dengan tulus
ikhlas, tiada bergunalah sedekah itu. Singkatnya, kerelaan hatinya yang
menentukan pahalanya dari dana punia itu. (Sarasamuccaya, 207, hal.91 : Perihal
Dana Punia).
i.
Adapun memberikan sedekah yang
gampang mendapatnya sebagai umpamanya minyak, air, sumbu, obor, pahalanya ialah
akan hidup senang dengan seluruh keluarga di akhirat. (Sarasamuccaya, 202,
hal.90 : Perihal Dana Punia).
j.
Karena sesungguhnya sangat sukar
mendapt air dijalan kesorga (di padang panangsaran). Maka dengan memberikan air
sebagai sedekah, pasti akan memperoleh kepuasan, tidak mendapat kesulitan akan
air di dunia sana. (Sarasamuccaya, 203, hal.90 : Perihal Dana Punia).
k. Sebab
sedekah yang berupa makanan pasti membuat senag baikpun bagi yang memberi
apalagi bagi yang diberi, demikianlah kenyataan akibat dari pemberian yang
menyenangkan. (Sarasamuccaya, 207, hal.91 : Perihal Dana Punia).
l.
Yang sebenarnya di sebut putra
adalah orang yang menolong waktu kesusahan, yang segala tenaganya dipergunakan
untuk menolong keluarga yang kesakitan, yang mendanakan hasil keuntungannya
dengan memberi makan pada orang yang melarat dan semua perbuatannya. Orang yang
demikianlah baru seorang putra. (Sarasamuccaya, 228, hal.100 : Perihal Pergaulan
Hidup).
7.
Manusia
dan Tanggung Jawab.
a. Inilah
tentang pergaulan ; lekas benar pergaulan itu memindahkan sifat yang baik
kepada orang yang selalu bergaul dengan orang yang bersifat utama ; buktinya
baunya bunga lebih beralih kepada kain, air, minyak dan tanah, disebabkan
persentuhannya dengan bunga itu. (Sarasamuccaya, 300, hal.236 : Perihal
Sangsara).
b. Meski
hanya sedikit kepandaian seseorang, jiak berdiam pada orang yang bijaksana dan
selalu bergaul dengan beliau itu, maka meluas dan makin bertambah kepandaiannya
itu, sebagai halnya minyak yang jatuh di air, melimpah-limpah keadaanya. (Sarasamuccaya,
303, hal.237 : Perihal Sangsara).
c. Namun
demikian, janganlah orang yang tidak cinta kepada ilmu pengetahuan, tuntutlah
dan kejarlah saja akan ilmu itu, jangan hendaknya dipengaruhi oleh perbuatan
dosa, sebab orang yang durbudi (berpekerti jahat) karena tiada ada sifat-sifat
satwam padanya, merupakan musuh dirinya sendiri. (Sarasamuccaya, 304, hal.238 :
Perihal Sangsara).
d. Kirti
(kemasyhuran) itu, sama halnya dengan seorang ibu, karena sama-sama menghidupi,
andaikata lina (hilang) orang yang membuat kemashyuran itu, dianggap
seakan-akan ia masih hidup, karena karma baiknya ikut hilang ; akan tetapi si
duryasa (tanpa kerti)nyang dianggap seolah-olah mati itu, andaikata ia masih
hidup, dengan tanpa kerti, bila dipercakapan kaduryasaannya (keburukannya) maka
dianggap ia itu sama halnya dengan mati namanya. (Sarasamuccaya, 320, hal.251 :
Perihal Sangsara).
e. Sebab
perbuatan baik itu, sampai ke alam sorga menjadi buah bibir, apalagi di muka
bumi ini ; itulah kirti (kemashyuran) namanya ; senantiasa dijadikan
pembicaraan ; oleh karena itu usahakanlah berbuat baik, (perbuatan baik itu)
selama-lamanya dibicarakan ; demikian pula melaksanakan ; itulah baru
benar-benar orang namanya. (Sarasamuccaya, 319, hal.250 : Perihal Sangsara).
f. Inilah
penjaga (pemelihara) nama baik ; janagn berkhianat kepada sahabat ; drohaka
artinya menghendaki akan matinya sahabat itu, jang berkhianat kepada orang yang
dipercaya baik kepada orang yang menaruh kepercayaan kepada anada maupun kepada
orang yang nasinya anda makan, demikian pula kepada orang tempat anda mendapat
perlindungan sebab tidak tahu berterimakasih dikatakan perbuatan nista yang
demikian, tidak tahu membayar hutang-hutang yang lampau. (Sarasamuccaya, 321,
hal.251: Perihal Sangsara).
g. Adapun
orang yang melakukan perbuatan jahat itu, dinamai orang yang tidak sayang akan
dirinya, oleh sebab dirinya sendiri berbuat kejahatan itu ; karenanya dirinya
sendirilah yang mengalami akibatnya kemudian. (Sarasamuccaya, 324, hal.254 : Perihal
Sangsara).
h. Sebab
di dunia ini sang pandita sungguhpun cukup bijaksana, tiada luput beliau
daripada noda, dikuasai oleh alat yang ada pada tubuh wanita, yaitu kulit yang
berukuran sebesar jejak kaki kijang. (Sarasamuccaya, 437, hal.340 : Perihal Stri).
i.
Ada orang yang mempertaruhkan
hidupnya, mati dalam peperangan, oleh sebab keras hatinya mengejar kekayaan ;
yang lainnya dengan tanpa alasan (dengan begitu saja) menghambakan dirinya
dengan maksud untul ; menjadi abdi, disebabkan oleh keinginannya kan kekayaan. (Sarasamuccaya,
466, hal.365 : Perihal Trsna).
j.
Lihatlah orang lain, sekalipun
hanya satu barangnya, akan tetapi berbeda juga tanggapan tiap-tiap orang
terhadapnya, nyatanya sebagai buah dada seseorang ibu, berbedalah tanggapan si
anak yang mencintai si ibu dari pada tanggapan si ayah ; jadinya pikiranlah
yang membuat perbedaan itu. (Sarasamuccaya, 85, hal.74 : Perihal Trikaya).
k. Segala
orang, baik golongan rendah, menengah atau tinggi, selama kerja baik menjadi
kesenangan hatinya, niscaya tercapailah segala yang diusahakan memperolehnya. (Sarasamuccaya,
17, hal.19 : Perihal Keagungan Dharma).
l.
Adalah orang yang tidak bimbang,
bahkan budunya tetap teguh untuk mengikuti jalan pelaksanaan dharma ; orang
itulah sangat bahagia, kata orang yang berilmu, tidak akan menyebabkan kaum
kerabat dan handai tauladannya bersedih hati, meski ia sampai berkelana
meminta-minta sedekah untuk menyambung hidupnya. (Sarasamuccaya, 19, hal.20 :
Perihal Keagungan Dharma).
8.
Manusia
dan Harapan
a. Sebab
orang itu ada yang senang pada hidupnya sekarang saja, tidak sensng pada
hidupnya yang lain ; ada yang hanya berbahagia pada hidupnya yang lain saja,
tetapi tidak senang pada hidupnya sekarang ; ada yang bersenang pada hidupnya
sekarang, pada hidupnya yang lain bersenang pula ; ada yang sama sekali tidak
bahagia pada hidupnya sekarang, pun tidak pada hidupnya yang lain. (Sarasamuccaya,
212, hal.215: Perihal Sukha).
b. Akan
tetapi orang yang tidak bertangguh melakukan semadhi, tekun melaksanakan tapa,
senantiasa mempelajari ilmu pengetahuan, menguasai hawa nafsu dan mengasihi
sekalian makhluk ; orang yang demikian keadaannya, itulah disebut mengalami
kesenangan kelas di dunia yang lain. (Sarasamuccaya, 274, hal.217 : Perihal Sukha).
c. Berikut
ini adalah orang yang memperoleh “suka” sekarang dan “suka” kemudian, orang itu
mengusahakan laksana dharma, sesudahnya sempurna terlaksana usaha dharma itu,
maka berikhtiarlah ia memperoleh harta kekayaan, dengan dharma pula ia berusaha
(memperoleh harta), lalu ia beristri, mengenyam kenikmatan duniawi ; dharma
pula landasannya dan kemudian mengadakan upacara kebaktian dan pujaan, dewa
yajna, pitra yajna ; orang yang demikian perilakunya menikmati “suka” sekarang
dan “suka” kemudian. (Sarasamuccaya, 275, hal. 217 : Perihal Sukha).
d. Berikut
inilah kedudukan di alam sorga ; setelah selesai menikmati hasil perbuatannya
yang menyebabkan ia dapat mencapai sorga loka, maka layulah bunga yang tersunting
dirambut orang yang tinggal di alam sorga ; itulah saat permulaan yang membuat
kesedihan ; apabila ia jatuh dari alam para dewa, bukan alang kepalang duka
nestapanya, demikianlah seluruh perasaan hati duka yang diperoleh di alam para
dewa, sampai di alam Brahma demikian keadaan kedukaan itu. (Sarasamuccaya, 393,
hal. 205 : Perihal Pitrayana-Dewayana).
e. Bahwa
di dunia ini tidak ada yang lebih sulit dilakukan daripada berdana-punia
(bersedekah). Umumnya, orang amat sayang akan harta kekayaannya karena
mendapatkannyapun dengan susuah payah. (Sarasamuccaya, 171, hal. 76 : Perihal
Dana Punia).
f. Tenaglah
hati yang bingung. Mulailah sabarkan ajaran-ajaran agama dan ketentuan
kesopanan hidup masing-masing kepada keempat golongan masyarakat. Berbuatlah kebajikan
untuk umum dan laksanakanlah ajaran-ajaran kesuliaan. (Sarasamuccaya, 253, hal.
110 : Perihal Perbuatan Terpuji).
g. Jika
ingin masuk sorga, janganlah mengambil sesuatu yang belum diijinka, jangan
melakukan pembunuhan, jangan ingkar akan janji, jangan memikirkan untuk berzina
(memperkosa wanita). (Sarasamuccaya, 256, hal. 111 : Perihal Perbuatan
Terpuji).
h. Lagipula
hendaknya selalu tetap melakukan ajaran Yama. Adapun ajaran Niyama itu bolehlah
tidak secara tetap dilakukan. Karena ia yang terlalu mengikatkan diri pada
ajaran-ajaran Niyama, tanpa menyiapkan diri untuk melakukan Yama, ia akan
terjerumus ke jurang sengsara. (Sarasamuccaya, 258, hal. 112 : Perihal
Perbuatan Terpuji).
i.
Adapun melakukan semua perbuatan
itu haruslah berdasarkan pada dharma (kebenaran). Demikian juga dalam
mengumpulkan harta benda yang caranya dapat dibagi tiga. Ketiga macam jalan ini
hendaknya dilaksanakan dengan baik-baik. (Sarasamuccaya, 261, hal. 114 :
Perihal Harta Benda).
j.
Ada tiga macam pahala kehidupan
manusia yaitu dharma, artha dan kama. Demikianlah jenisnya yang tiga dan
janganlah sampai dikuasai oleh adharma. (Sarasamuccaya, 268, hal. 117 : Perihal
Harta Benda).
k. Beginilah
yang disebut bahagia di alam fana yakni orang kaya yang tak terhingga banyak
emas peraknya dan semuanya itu dinikmatinya, dipergunakannya tetapi tidak
dikorbankannya untuk berbuat kebajikan. Orang yang demikian tingkah lakuknya
hanya bahagia di alam kehidupan ini. (Sarasamuccaya, 273, hal. 119 : Perihal
Harta Benda).
l.
Adapun orang yang tak
jemu-jemunya bersamadhi, tekun melakukan tapa, senantiasa mengajar ilmu
pengetahuan, menguasai hawa nafsu, belas kasihan terhadap serba yang hidup,
orang yang demikian itu kebahagiaannya dikecapnya kelak di alam baka. (Sarasamuccaya,
274, hal.120 : Perihal Harta Benda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar