Weda
Soal :
1.
Coba sebutkan 18
jenis kitab Purana !
2.
Hapalkan do’a
Ganapati !
3.
Ceritakan
kembali cerita “punggung terluka” !
4.
Apa maksud dari
cerita “punggung terluka” ?
5.
Coba renungkan
cerita punggung terluka, dan apa yang anda rasakan, tulis dengan kata-kata sendiri
!
Jawab :
1.
Delapan belas jenis kitab Purana yaitu :
a.
Bhrahmanda
Purana
b.
Bhrahmawarta
Purana
c.
Markandya Purana
d.
Bhawisya Purana
e.
Wamana Purana
f.
Brahma Purana
g.
Wisnu Purana
h.
Narada Purana
i.
Bhagawata Purana
j.
GarudaPurana
k.
Padma Purana
l.
Waraha Purana
m. Matsya Purana
n.
Kurma Purana
o.
Lingga Purana
p.
Siwa Purana
q.
Skanda Purana,
dan
r. Agni Purana
2.
Do’a Ganapati :
Om waktratunda mahakarya
Suryakoti samaprabha
Nirwignha kurume dewa
Sarwa
karyesu sarwada
3.
Cerita ulang punggung terluka sesuai dengan
penangkapan indera saya sebagai berikut :
Pada suatu hari disebuah desa di
India, tinggallah pasangan orang suci yang biasa disebuat “suamiji” (dalam bahasa Indonesia berarti orang suci / pendeta).
Sang pendeta (pria) tersebut sangat rajin dan tekun mengucapkan mantra-mantra
Weda, Suamiji (pria) taat menjalani persembahyangan. Namun pendeta (wanita)
tidak sama dengan suaminya. Ia tidak setekun suaminya, mungkin karena harus
mengerjakan banyak hal. Pasangan Suamiji tersebut memiliki ladang, dan penduduk
didesa tersebut sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, baik petani
padi maupun umbi-umbian.
Seperti hari-hari
biasa, Sang Pendeta (pria) memuja Tuhan dengan sangat khusuknya, beliau
bersembahyang lebih dari tiga kali sehari. Berbagai buku sucipun beliau baca,
yang salah satunya adalah Bhagavad Gita. Setiap bait-bait slokanya selalu di
pahami dan di resapi maknanya. Dari sanalah beliau memahami betapa besar
karunia Tuhan. Beliau semakin mendalami.
Hingga suatu hari, saat
Sang Suamiji (pria) tengah melantunkan doa-doa dengan khusuknya, datanglah sang
Suamiji (wanita) sambil berteriak-teriak. Langsung saja Sang Suamiji (pria)
panik dan datang menghampiri istrinya. Begini katanya :
“Ada apa dinda, dikau
berteriak histeris, apakah ada sesuatu yang engkau risaukan ?”. Kata Suamiji
pria pada istrinya.
“Kanda…. Kanda… lihatlah,,
lihat keadaan kita sekarang !. tidak ada beras, apalagi umbi. Apa yang akan ku
sajikan padamu nanti sore kanda ?”. Sahut Suamiji wanita sambil menampakkan
wajah yang merana.
“Oh dinda.. janganlah
dikau sedih.” Sahut Suamiji pria yang berusaha menenangkan istrinya.
“Apalagi kanda ??
ladang semua tandus, apa yang hendak ku sajikan padamu nanti, besok apalagi
lusa ??”. Jawab suamiji wanita.
“Dengarlah dinda, dalam Bhagavad Gita
terdapat sebuah sloka yang berbunyi :
“Siapapun yang
mau memuja-KU dengan tulus ikhlas,
mengucapkan
mantra-mantra suci Weda dengan rutin,
bersembahyang
tanpa ada rasa beban,
akan KU berikan apapun
yang engkau inginkan, dan akan-KU jaga semua milikmu.”
Dengan tenang sang Suamiji Pria menasehati
istrinya.
“Kau hanya bisa membaca
mantra-mantra suci itu. Apakah itu bisa mendatangkan harta ?. uang tidak keluar
dari mantra itu kanda, sekarang lihatlah tidak ada satupun yang dapat kita
makan. Apakah benar yang kau ucapkan tadi kanda ?? jika saja itu benar saat ini
aku tidak akan sesedih ini !!”. Jawab sang Suamiji wanita yang meneteskan air
mata melihat keterpurukan saat itu.
Langsung saja Suamiji
wanita perpaling meninggalkan suaminya. Dan sang Suamiji Pria berbalik badan
lalu kembali menghampiri buku-buku kumpulan mantra dan pengetahuan (Weda)
tersebut. cukup lama beliau merenungkan keadaan yang menimpa rumah tangganya.
Beliau beranjak dan mengambil buku Bhagavad Gita, yang menyebutkan bahwa
siapapun yang memuja Tuhan dengan rutin serta tulus ikhlas maka Tuhan akan
mengabulkan apapun permohonannya.
Sang pendeta pria
membuka bab dan membaca sloka yang mencantumkan kata demikian. Pena yang berada tak jauh dari jangkaun
tangannyapun segera diraih. Sang Suamiji pria mencoret sloka yang memuat
kata-kata tersebut diatas, selanjutnya tanpa ada rasa sedih dan bersalah
sedikitpun beliau melempar dengan penuh amarah dan kekesalan buku Bhagavad Gita
tersebut. Begitu hebatnya beliau melempar buku tersebut, hingga berantakan
sedemikian rupa.
Tak berselang beberapa
waktu, sang Suamiji wanita tengah bersandar lemas dipintu rumahnya. Nampak dari
kejauhan dua lelaki tampan hendak menghampirinya. Saat mereka sudah dekat
dengan sang Suamiji, langsung menyapa. :
“Salam hormat kami
wahai Suamiji yang mulia..” (sambil mencangkupkan tangan mereka didepan dada).
“Salam… ada gerangan
apa kalian wahai anak muda datang ketempat kami ?”. balas Sang Suamiji wanita
dengan ramah.
“Kami hendak bertemu
dengan Suamiji, kami membawakan ini kehadapan Suamiji yang mulia”. Sahut kedua
lelaki tampan itu dengan penuh rasa hormat pada sang Suamiji wanita sambil
memberikan sebuah kotak yang berukuran sedang.
“Apa ini wahai anak
muda ? untuk apa kalian memberi kami kotak ini ?” tanya sang Sang Suamiji
penasaran.
“Ini untuk Suamiji yang
terhormat, kami permisi untuk pamit wahai Suamiji yang mulia. Salam.” jawab
kedua lelaki itu lalu memalingkan badan dan beranjak dari tempat tinggal sang
Suamiji. (Dan kembali mencangkupkan kedua tangan didepan dada).
“Baiklah anak muda”. Sahut sang Suamiji
lantang.
Karena masih bingung
dengan kaedaan yang sedang terjadi, suamiji wanitapun tak melepaskan
pandangannya dari kotak harta karun
tersebut.
Sang Suamiji langsung
membuka kotak yang telah diberikan oleh kedua anak muda itu. Dan ternyata yang
terdapat dalam kotak itu adalah mutiara, emas dan berlian, bagaikan peti harta
karun. Sontak saja sang Suamiji memandang kedua lelaki muda itu yang berada
belum jauh dari kediamannya. Betapa terkejut dan tak berdaya Sang Suamiji
wanita itu saat ia sadar kalau punggung kedua lelaki itu terluka sangat parah.
Bagai tersayat pedang, lukanya masih menganga, mengucurkan darah yang tak
hentinya. Dan kedua lelaki muda tersebut lenyap bak di telan ombak hingga tak
nampak lagi.
Lalu berteriaklah sang Suamiji wanita.
“Kanda… Kanda…!!!
lihatlah ini, lihat kanda!!. Barusaja ada dua lelaki muda yang tampan datang
kerumah kita. mereka membawa sekotak harta karun ini”. Teriaknya dan menahan
haru.
“Lalu kemana kedua
lelaki itu sekarang ?. Dimana mereka ?. Apa yang mereka katakan padamu dinda
?”. Tanya sang Suamiji pria penasaran.
“Mereka menghilang
kanda, dari punggung mereka mengalir darah yang sangat banyak. Terdapat luka
sayat dipunggung mereka, bagaikan disayat pedang. Masih lukanya masih kanda”.
Sang Suamiji wanita menangis bersegukan.
“Tidak salah lagi kalau
mereka adalah Sang Rama dan Laksmana. Kita telah salah melakukan hal ini”.
Jawab sang Suamiji pria mulai lemas.
“Ini salahku kanda,
tidak seharusnya aku berbicara demikian kepada mu tadi”. Jawab sang istri
dengan penuh penyesalan.
“Ini salah kita dinda,
aku juga tidak seharusnya berusaha menghapus kata-kata yang tercantum dalm
sloka Bhagavad Gita tersebut. Tidak seharusnya aku menyayat tubuh Tuhan itu
sendiri”. Sahutnya yang mulai pasrah.
Tampak begitu menyesal
pasangan Suamiji tersebut telah menyakiti Weda. Penyesalan yang selalu datang
belakangan membawa kepedihan yang mendalam akibat nafsu duniawi yang hendak
menikmati harta, harta dan harta. ###
Demikian cerita ulang “Punggung Terluka” dari saya,
segala sesuatu yang dilakukan tidak setulus hati akan mendatangkan hasil yang
tak sepenuhnya juga.
4.
Maksud dari
cerita tersebut di atas adalah :
a.
Jangan pernah
melakukan sesuatu tanpa didasari dengan rasa ketulus ikhlasan, bila dasarnya
kokoh sudah pasti apapun yang akan di laksanakan akan berjalan sesuai dengan
harapan.
b.
Jangan berlarut
dalam penyesalan. Menyesal memang wajar dihadapi oleh setiap manusia, akan
tetapi keterpurukan dari penyesalan tersebut jangan sampai merusak segala sesuatu yang baik. Bila
kita gagal kita masih diberikan waktu untuk mencoba. Maka dari itu jangan
pernah sia-siakan kehidupan yang hanya sekali ini. Gunakanlah nafas yang hanya
sesaat dari Tuhan ini untuk berkarma demi terbebas dari samsara.
c.
Jangan pernah
menyepelekan sesuatu sekecil apapun itu, karena sesuatu yang kecil tersebut
dapat menyebabkan kerusakan fatal bagi sesuatu yang besar nantinya.
d.
Berbuatlah
dengan tulus, sabarlah karena tidak semua pahala diterima saat itu juga. Ada
yang langsung di rasakan, ada yang di kehidupan selanjutnya, ada juga yang akan
dirasakan oleh keturunan kita nantinya. Jangan selalu berbuat dan berharap akan
imbalan.
5.
Yang saya
rasakan setelah merenungkan cerita “Punggung Terluka” adalah
Tidak seharusnya Sang
Suamiji berlaku demikian, tidak selamanya hidup ini berjalan mulus, siapapun
pasti pernah mengalami susah bahkan sengasara karena kelahiran kita di dunia
ini adalah untuk berkarma, sudah pasti lebih banyak menderita/sengsara daripada
merasa bahagia. Sekarang bagaimana kita yang menjalaninya. Jika kita menjalani
hidup ini dengan penuh rasa syukur, walau susah tetap bersabar dan jangan
pernah bosan untuk berdoa. Namun apabila hanya berdoa tanpa melaksanakan
sesuatu/ bekerja dan berusaha semua akan sia-sia, begitu juga sebaliknya.
Tindakan yang dilakukan
oleh Suamiji tersebut sangat jauh dari yang saya bayangkan sebelum dosen selesai menceritakan cerita
tersebut. karena suamiji yaitu sebagai orang suci di India sudah harus
berpengetahuan luas mengenai Weda. Dengan penuh kebijaksanaan bisa memberi
pencerahan kepada umat untuk terus beusaha dan berdoa. Terlebih lagi kepada
sang istri. Tapi saya akui kalau tidak sepenuhnya Sang Suamiji tersebut salah,
godaan duniawi selalu menggelapkan mata siapapun yang tergiur dan tidak kuat
batin akannya.
Saya merasa sangat
terkejut, sedih dan kecewa atas hal yang dilakukan suamiji tersebut. betapa
sedihnya Tuhan karena tahu sabda Beliau dicampakkan, dianggap tabu dan tidak
berguna. Berpikirlah berulangkali sebelum melakukan sesuatu. Pertimbangkan
berbagai kemungkinan yang akan terjadi setelah tindakan yang kita pilih.
Pastikan tidak ada penyesalan setelah kejadian itu berlalu. Janganlah merugikan
seorangpun atas pilihan yang kita tuju. Karena itu jalan yang kita pilih, apapu
resikonya hadapi dan lakukan yang terbaik.
Jikalau sudah terlanjur
jangan menyesal yang berlarut-larut, segeralah berusaha untuk mengembalika
keadaan dan buet yang lebih baik. Ingatlah tidak ada kesempatan yang atangnya
dua kali. Meskipun ada, itu tidak adan sama dengan kesempatan yang pertama.
Seandainya saya yang
berada di posisi sang Suamiji tersebut saya juga akan sedih melihat kehidupan
desa begitu tandus, tidak ada yang dapat di jadikan sebagai bahan makanan untuk
mengisi perut. Namun tidak seperti sang Suamiji yang menyalahkan ajaran agama yang
sudah jelas-jelas adalah pengetahuan pasti, mengenai kehidupan. Tidak akan saya
mencoret apalagi membanting buku mengenai ilmu agama sekalipun yang tertera
dalam buku tersebut belum saya pastikan kebenarannya. Namun saya yakin kalau
sudah ada dalam kitab suci itu tidak mungkin salah. Sekalipun salah mungkin saja
saya yang salah mengartikan pesan yang terkandung dalam Weda tersebut.