Selasa, 16 September 2014

Weda
Soal :
1.      Coba sebutkan 18 jenis kitab Purana !
2.      Hapalkan do’a Ganapati !
3.      Ceritakan kembali cerita “punggung terluka” !
4.      Apa maksud dari cerita “punggung terluka” ?
5.      Coba renungkan cerita punggung terluka, dan apa yang anda rasakan, tulis dengan kata-kata sendiri !
Jawab :
1.       Delapan belas jenis kitab Purana yaitu :

a.       Bhrahmanda Purana
b.      Bhrahmawarta Purana
c.       Markandya Purana
d.      Bhawisya Purana
e.       Wamana Purana
f.       Brahma Purana
g.      Wisnu Purana
h.      Narada Purana
i.        Bhagawata Purana
j.     GarudaPurana
k.   Padma Purana
l.     Waraha Purana
m. Matsya Purana
n.   Kurma Purana
o.   Lingga Purana
p.   Siwa Purana
q.   Skanda Purana, dan
r.  Agni Purana



2.      Do’a  Ganapati :
Om waktratunda mahakarya
Suryakoti samaprabha
Nirwignha kurume dewa
Sarwa karyesu sarwada


3.       Cerita ulang punggung terluka sesuai dengan penangkapan indera saya sebagai berikut :
            Pada suatu hari disebuah desa di India, tinggallah pasangan orang suci yang biasa disebuat “suamiji” (dalam bahasa Indonesia berarti orang suci / pendeta). Sang pendeta (pria) tersebut sangat rajin dan tekun mengucapkan mantra-mantra Weda, Suamiji (pria) taat menjalani persembahyangan. Namun pendeta (wanita) tidak sama dengan suaminya. Ia tidak setekun suaminya, mungkin karena harus mengerjakan banyak hal. Pasangan Suamiji tersebut memiliki ladang, dan penduduk didesa tersebut sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani, baik petani padi maupun umbi-umbian.
Seperti hari-hari biasa, Sang Pendeta (pria) memuja Tuhan dengan sangat khusuknya, beliau bersembahyang lebih dari tiga kali sehari. Berbagai buku sucipun beliau baca, yang salah satunya adalah Bhagavad Gita. Setiap bait-bait slokanya selalu di pahami dan di resapi maknanya. Dari sanalah beliau memahami betapa besar karunia Tuhan. Beliau semakin mendalami.
Hingga suatu hari, saat Sang Suamiji (pria) tengah melantunkan doa-doa dengan khusuknya, datanglah sang Suamiji (wanita) sambil berteriak-teriak. Langsung saja Sang Suamiji (pria) panik dan datang menghampiri istrinya. Begini katanya :
“Ada apa dinda, dikau berteriak histeris, apakah ada sesuatu yang engkau risaukan ?”. Kata Suamiji pria pada istrinya.
“Kanda…. Kanda… lihatlah,, lihat keadaan kita sekarang !. tidak ada beras, apalagi umbi. Apa yang akan ku sajikan padamu nanti sore kanda ?”. Sahut Suamiji wanita sambil menampakkan wajah yang merana.
“Oh dinda.. janganlah dikau sedih.” Sahut Suamiji pria yang berusaha menenangkan istrinya.
“Apalagi kanda ?? ladang semua tandus, apa yang hendak ku sajikan padamu nanti, besok apalagi lusa ??”. Jawab suamiji wanita.
“Dengarlah dinda, dalam Bhagavad Gita terdapat sebuah sloka yang berbunyi :
“Siapapun yang mau memuja-KU dengan tulus ikhlas,
mengucapkan mantra-mantra suci Weda dengan rutin,
bersembahyang tanpa ada rasa beban,
akan KU berikan apapun yang engkau inginkan, dan akan-KU jaga semua milikmu.”
 Dengan tenang sang Suamiji Pria menasehati istrinya.
“Kau hanya bisa membaca mantra-mantra suci itu. Apakah itu bisa mendatangkan harta ?. uang tidak keluar dari mantra itu kanda, sekarang lihatlah tidak ada satupun yang dapat kita makan. Apakah benar yang kau ucapkan tadi kanda ?? jika saja itu benar saat ini aku tidak akan sesedih ini !!”. Jawab sang Suamiji wanita yang meneteskan air mata melihat keterpurukan saat itu.
Langsung saja Suamiji wanita perpaling meninggalkan suaminya. Dan sang Suamiji Pria berbalik badan lalu kembali menghampiri buku-buku kumpulan mantra dan pengetahuan (Weda) tersebut. cukup lama beliau merenungkan keadaan yang menimpa rumah tangganya. Beliau beranjak dan mengambil buku Bhagavad Gita, yang menyebutkan bahwa siapapun yang memuja Tuhan dengan rutin serta tulus ikhlas maka Tuhan akan mengabulkan apapun permohonannya.
Sang pendeta pria membuka bab dan membaca sloka yang mencantumkan kata demikian.  Pena yang berada tak jauh dari jangkaun tangannyapun segera diraih. Sang Suamiji pria mencoret sloka yang memuat kata-kata tersebut diatas, selanjutnya tanpa ada rasa sedih dan bersalah sedikitpun beliau melempar dengan penuh amarah dan kekesalan buku Bhagavad Gita tersebut. Begitu hebatnya beliau melempar buku tersebut, hingga berantakan sedemikian rupa.
Tak berselang beberapa waktu, sang Suamiji wanita tengah bersandar lemas dipintu rumahnya. Nampak dari kejauhan dua lelaki tampan hendak menghampirinya. Saat mereka sudah dekat dengan sang Suamiji, langsung menyapa. :
“Salam hormat kami wahai Suamiji yang mulia..” (sambil mencangkupkan tangan mereka didepan dada).
“Salam… ada gerangan apa kalian wahai anak muda datang ketempat kami ?”. balas Sang Suamiji wanita dengan ramah.
“Kami hendak bertemu dengan Suamiji, kami membawakan ini kehadapan Suamiji yang mulia”. Sahut kedua lelaki tampan itu dengan penuh rasa hormat pada sang Suamiji wanita sambil memberikan sebuah kotak yang berukuran sedang.
“Apa ini wahai anak muda ? untuk apa kalian memberi kami kotak ini ?” tanya sang Sang Suamiji penasaran.
“Ini untuk Suamiji yang terhormat, kami permisi untuk pamit wahai Suamiji yang mulia. Salam.” jawab kedua lelaki itu lalu memalingkan badan dan beranjak dari tempat tinggal sang Suamiji. (Dan kembali mencangkupkan kedua tangan didepan dada).
 “Baiklah anak muda”. Sahut sang Suamiji lantang.
Karena masih bingung dengan kaedaan yang sedang terjadi, suamiji wanitapun tak melepaskan pandangannya dari kotak harta karun tersebut.
Sang Suamiji langsung membuka kotak yang telah diberikan oleh kedua anak muda itu. Dan ternyata yang terdapat dalam kotak itu adalah mutiara, emas dan berlian, bagaikan peti harta karun. Sontak saja sang Suamiji memandang kedua lelaki muda itu yang berada belum jauh dari kediamannya. Betapa terkejut dan tak berdaya Sang Suamiji wanita itu saat ia sadar kalau punggung kedua lelaki itu terluka sangat parah. Bagai tersayat pedang, lukanya masih menganga, mengucurkan darah yang tak hentinya. Dan kedua lelaki muda tersebut lenyap bak di telan ombak hingga tak nampak lagi.
                        Lalu berteriaklah sang Suamiji wanita.
“Kanda… Kanda…!!! lihatlah ini, lihat kanda!!. Barusaja ada dua lelaki muda yang tampan datang kerumah kita. mereka membawa sekotak harta karun ini”. Teriaknya dan menahan haru.
“Lalu kemana kedua lelaki itu sekarang ?. Dimana mereka ?. Apa yang mereka katakan padamu dinda ?”. Tanya sang Suamiji pria penasaran.
“Mereka menghilang kanda, dari punggung mereka mengalir darah yang sangat banyak. Terdapat luka sayat dipunggung mereka, bagaikan disayat pedang. Masih lukanya masih kanda”. Sang Suamiji wanita menangis bersegukan.
“Tidak salah lagi kalau mereka adalah Sang Rama dan Laksmana. Kita telah salah melakukan hal ini”. Jawab sang Suamiji pria mulai lemas.
“Ini salahku kanda, tidak seharusnya aku berbicara demikian kepada mu tadi”. Jawab sang istri dengan penuh penyesalan.
“Ini salah kita dinda, aku juga tidak seharusnya berusaha menghapus kata-kata yang tercantum dalm sloka Bhagavad Gita tersebut. Tidak seharusnya aku menyayat tubuh Tuhan itu sendiri”. Sahutnya yang mulai pasrah.
Tampak begitu menyesal pasangan Suamiji tersebut telah menyakiti Weda. Penyesalan yang selalu datang belakangan membawa kepedihan yang mendalam akibat nafsu duniawi yang hendak menikmati harta, harta dan harta. ###
            Demikian  cerita ulang “Punggung Terluka” dari saya, segala sesuatu yang dilakukan tidak setulus hati akan mendatangkan hasil yang tak sepenuhnya juga.

4.      Maksud dari cerita tersebut di atas adalah :
a.       Jangan pernah melakukan sesuatu tanpa didasari dengan rasa ketulus ikhlasan, bila dasarnya kokoh sudah pasti apapun yang akan di laksanakan akan berjalan sesuai dengan harapan.
b.      Jangan berlarut dalam penyesalan. Menyesal memang wajar dihadapi oleh setiap manusia, akan tetapi keterpurukan dari penyesalan tersebut jangan  sampai merusak segala sesuatu yang baik. Bila kita gagal kita masih diberikan waktu untuk mencoba. Maka dari itu jangan pernah sia-siakan kehidupan yang hanya sekali ini. Gunakanlah nafas yang hanya sesaat dari Tuhan ini untuk berkarma demi terbebas dari samsara.
c.       Jangan pernah menyepelekan sesuatu sekecil apapun itu, karena sesuatu yang kecil tersebut dapat menyebabkan kerusakan fatal bagi sesuatu yang besar nantinya.
d.      Berbuatlah dengan tulus, sabarlah karena tidak semua pahala diterima saat itu juga. Ada yang langsung di rasakan, ada yang di kehidupan selanjutnya, ada juga yang akan dirasakan oleh keturunan kita nantinya. Jangan selalu berbuat dan berharap akan imbalan.


5.      Yang saya rasakan setelah merenungkan cerita “Punggung Terluka” adalah
Tidak seharusnya Sang Suamiji berlaku demikian, tidak selamanya hidup ini berjalan mulus, siapapun pasti pernah mengalami susah bahkan sengasara karena kelahiran kita di dunia ini adalah untuk berkarma, sudah pasti lebih banyak menderita/sengsara daripada merasa bahagia. Sekarang bagaimana kita yang menjalaninya. Jika kita menjalani hidup ini dengan penuh rasa syukur, walau susah tetap bersabar dan jangan pernah bosan untuk berdoa. Namun apabila hanya berdoa tanpa melaksanakan sesuatu/ bekerja dan berusaha semua akan sia-sia, begitu juga sebaliknya.
Tindakan yang dilakukan oleh Suamiji tersebut sangat jauh dari yang saya bayangkan sebelum dosen selesai menceritakan cerita tersebut. karena suamiji yaitu sebagai orang suci di India sudah harus berpengetahuan luas mengenai Weda. Dengan penuh kebijaksanaan bisa memberi pencerahan kepada umat untuk terus beusaha dan berdoa. Terlebih lagi kepada sang istri. Tapi saya akui kalau tidak sepenuhnya Sang Suamiji tersebut salah, godaan duniawi selalu menggelapkan mata siapapun yang tergiur dan tidak kuat batin akannya.
Saya merasa sangat terkejut, sedih dan kecewa atas hal yang dilakukan suamiji tersebut. betapa sedihnya Tuhan karena tahu sabda Beliau dicampakkan, dianggap tabu dan tidak berguna. Berpikirlah berulangkali sebelum melakukan sesuatu. Pertimbangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi setelah tindakan yang kita pilih. Pastikan tidak ada penyesalan setelah kejadian itu berlalu. Janganlah merugikan seorangpun atas pilihan yang kita tuju. Karena itu jalan yang kita pilih, apapu resikonya hadapi dan lakukan yang terbaik.
Jikalau sudah terlanjur jangan menyesal yang berlarut-larut, segeralah berusaha untuk mengembalika keadaan dan buet yang lebih baik. Ingatlah tidak ada kesempatan yang atangnya dua kali. Meskipun ada, itu tidak adan sama dengan kesempatan yang pertama.
Seandainya saya yang berada di posisi sang Suamiji tersebut saya juga akan sedih melihat kehidupan desa begitu tandus, tidak ada yang dapat di jadikan sebagai bahan makanan untuk mengisi perut. Namun tidak seperti sang Suamiji yang menyalahkan ajaran agama yang sudah jelas-jelas adalah pengetahuan pasti, mengenai kehidupan. Tidak akan saya mencoret apalagi membanting buku mengenai ilmu agama sekalipun yang tertera dalam buku tersebut belum saya pastikan kebenarannya. Namun saya yakin kalau sudah ada dalam kitab suci itu tidak  mungkin salah. Sekalipun salah mungkin saja saya yang salah mengartikan pesan yang terkandung dalam Weda tersebut.

Kamis, 11 September 2014

bahasa kawi semester II

1.      Mangkana : kata ganti tunjuk / penunjuk orang, demikian.
Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, makasadhanang subhakrma, hinganing kottamaning dadi wwang ika.
(Sarasamuccaya, IV, 5)
Artinya :
Sesungguhnya menjelma menjadi manusia ini adalah satu hal yang utama, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dari kesengsaraan, yaitu dengan jalan berbuat baik. Itulah keuntungan menjelma menjadi manusia.

2.      Ta : kata ganti tunjuk / penunjuk orang, ini.
Iking tang janma wwang, ksanika swabhawa ta ya, tan pahi lawwan kedapning kilat, durlabha towi, matangnyan ponga-kena ya ri kagawayanning dharmasadhana, sakarananging manasanang sangsara, swargaphala kunang.
(Sarasamuccaya, VIII, 7)
Artinya :
Alangkah cepat dan pendeknya kehidupan menjadi ini tak bedanya dengan sinar kilat, dan sangat susah pula untuk di dapat. Oleh karena itu berusaha benar-benarlah untuk berbuat berdasarkan (sadhana) dharma (kebenaran) untuk menghapuskan kesengsaraan hidup guna mencapai sorga.

3.      Ya : kata ganti orang yang sebenarnya, kata ganti orang ketiga.
Hana pwa tumemung dadi wwang, wimukha ring dharmasadhana, jenek ring arthakama arah, lobhambeknya, ya ika kabancana ngaranya.
(Sarasamuccaya, IX, 7)
Artinya :
Celakalah ia yang mendapat kesempatan menjelma sebagai manusia tetapi dalam hidupnya selalu ingkar akan ajaran-ajaran dharma (kebenaran) dan selalu mengejar harta dan kepuasan napsu belaka, serta berpikiran tamak selalu.

4.      Kami : kata ganti orang yang sebenarnya, kata ganti orang ketiga.
Nihan mata kami mangke, manawi, manguwuh, mapitutur, ling mami, ikang artha, kama, alamken dharma juga ngulaha, hawya palangpang lawan dharma mangkana ling mami, ndatan juga angrengo ri haturnyan eweh sang mokolah dharmasadhana, apa kunang hetunya.
(Sarasamuccaya, XI, 8)
Artinya :
Itulah sebabnya aku sekarang tidak jemu-jemu, terus-menerus memberikan nasehat, kataku : jika ingin mencari harta dan kepuasan napsu hendaknya selalu berdasarkan dharma (kebenaran), jangan ingkar akan dharma, demikian kataku, tetapi tidak ada yang menghiraukan sebab katanya “Sangat sukar melakukan dharma. Dan apalah gunanya!”

5.      Sang : kata sandang penunjuk orang, untuk orang ternama (berlaksana dharma).
Kunang sang pandita, sang dharmika juga, inastutinira, inalemnira, an sira prasidha anemu sukha, tan pangalem sugih, kami, apan tan tuhu sukha, ri hananing ahangkarajnana, ri sedengning dhanakama wyawaraha.
(Sarasamuccaya, XIII, 9)

Artinya :
Bagi orang yang tahu (akan rahasia hidup) hanya mereka yang bersifat dan berlaksana dharmalah yang dipuji dan dicintainya karena merekalah (sebenarnya yang) telah berhasil mendapatkan kebahagiaan sejati. Beliau tidak memuji orang kaya dan orang yang mendapat kepuasan napsu, sebab mereka itu tidaklah sebenarnya menikmati kebahagiaan sejati, selama masih ada sifat angkuh dan masih dapat digoda oleh harta dan napsu.

6.      Apanikang : kata tanya.
Apanikang kadang warga rakwa, ring tunwan hingan ikan pangateraken, kunang ikang tumut, sahayanikang dadi hyang ring paran, gawenya subhasubha juga, matngnyan prihena tiking gawe hayu, sahayanta anuntunaken ri pona dlaha.
(Sarasamuccaya, XXXII, 16)
Artinya :
Sebab semua sanak keluarga itu, hanya sampai di pembakaran (dikuburan) batasnya mengantar. Adapun yang ikut sebagai teman bagi jiwa di alam baka ialah perbuatan baik atau buruk itu jualah adanya. Oleh karena itu berusahalah berbuat baik yang akan merupakan sebagai sahabat yang akan menuntun jiwamu ke alam baka kelak.

7.      Rwa welas : kata bilangan, kata bilangan tentu, dua belas.
Nyang brata sang brahmana rwa welas kwehnya, pratyeknaya dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama nahan pratyekanyan rwawelas, dharma satya padgwanya, tapa ngaranya sarira sang sosana, kapanasanig sarira, piharan, kurangana wisaya, dama ngaranya upasama dening tuturnya, wimatsaritwa ngarani hawya irsya, hrih ngaraning irang, wruha ring irang wih, titiksa ngaraning hawya gong krodha, dana, maweha danapunya dhrti ngara ning maneb, ahning, ksama ngaraning kelan, nahan brata sang brahmana.
(Sarasamuccaya, 57, 28)
Artinya :
Inilah brata sang Brahmana, dua belas banyaknya, yaitu : dhrama, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anayusa, yajna, dana, dhrti, ksama. Demikianlah dua belas banyaknya. Dharma itu dari satya sumbernya,. Tapa artinya badan sang sosana yaitu mengendalikan jasmani dan mengurangi nafsu. Dama artinya tahu menasehati diri sendiri. Wimatsaritwa artinya tidak iri hari. Hrih artinya malu atau mempunyai persaan malu. Titksa artinya jangan marah besar. Anasya artinya jangan berbuat dosa. Yajna artinya senantiasa melakukan puja korban. Dana artinya memberikan sedekah dana punya. Drhti artinya pensucian dan penenangan pikiran . ksama artinya tahan akan cobaan  dan suka memaafkan. Semua itu brata sang Brahmana.

8.      Nihan : kata ganti tunjuk/ penunjuk orang, adalah.
Palaning kahrtaning indriya, nihan, kadirgayusan, ulah rahayu, pagehning yoga, kasaktinin yasa dharma, artha, yatika katemu ri  kawasaning indriya.
(Sarasamuccaya, 72, 35)
Artinya :
Pahala dari pengekangan  nafsu itu, adalah dirghayusa (panjang umur), tingkah laku baik, kuat pada yoga, kesaktian, kemasyuran atau nama harum, dharma itulah yang akan di peroleh, sebagai pahala dapat di kuasai hawa nafsu itu.

9.      Ndya : kata tanya, apakah sebab.
Nihan mara kenetanta, hana ya awayawaning stri, tan yogya wuwusen pradesanya, rinahasya, wih, mwang hana ta kani ateles hanguruwak, ika tang rinahasyanyang stri, lawanikang kani, ndya pahinika, yan ingetingeten, ndan kabancana juga wwang denika, sumanggah yaya dudu, makahetu wikalpaning manah, hinganyan namah ikang pradhana ngaranya.
(Sarasamuccaya, 83, 39)


Artinya :
Inilah contoh lagi yang perlu diperhatikan. Ada bagian badan wanita yang tidak boleh disebutkan tempatnya, yang dirahasiakan. Adalaki luka yang dalam dan lebar. Jika direnungkan baik-baik apakah bedanya luka itu dengan anggota badan wanita yang di rahasiakan itu ? Maka tergodalah ia menganggap kedua hal itu berbeda, hal mana yang disebabkan oleh pikirannya yang bingung. Tegasnya pikiran itulah yang merupakan sebab yang paling menentukan.

10.  Telu : kata bilangan, kata bilangan tentu, telu.
Telu tikang prasiddha drbya, mas manik ngaranya, ling sang pandita, pratekanya, si tan mahyun mamatyamatyani, si tan drohi, si mujarakenang satya, nahan tan drbya wastuning mulya, ling sang mahapurusa.
(Sarasamuccaya, 151, 68)
Artinya :
Tiga hal yang dianggap harta kekayaan oleh para pendeta yang harus kita miliki ialah : tidak menyakiti atau membunuh-bunuh atau suka berhianat, setia pada kata-kata. Inilah harta benda kekayaan yang mulia bagi orang utama.